WELCOME TO MY BLOG

Semua ini adalah proses belajar...
Penuh kekurangan...
Semoga bermanfaat...

Rabu, 06 Januari 2010

Perkembangan Kognitif Remaja (Tumbuh Kembang Anak)

BAB I
PENDAHULUAN

Masa remaja merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia yang sering digambarkan dengan masa yang paling indah, dan tidak terlupakan karena penuh dengan kegembiraan dan tantangan (Kartini Kartono, 1992). Masa remaja adalah masa peralihan dari anak menuju dewasa (Hurlock, 1993), karena pada fase ini remaja secara fisik telah mengalami perkembangan sebagaimana layaknya orang dewasa dan perkembangan fisik ini selanjutnya mengarahkan remaja kepada pembentukan dan pencarian identitas dirinya (Santrock, 1995). Perkembangan fisik membuat remaja merasa dirinya telah dewasa dan harus mendapat peran yang sama sebagaimana orang dewasa dalam membuat keputusan, menentukan kegiatan, menentukan tempat sekolah dan lain sebagainya. Sementara disisi lain perkembangan fisik yang telah matang pada remaja tersebut tidak diikuti dengan kematangan emosi, kognitif dan ranah psikologis yang lain, sehingga para orang dewasa masih menganggap mereka sebagai anak-anak yang membutuhkan pengasuhan bukan dukungan, yang membutuhkan perlindungan bukan bimbingan dan membutuhkan sosialisasi bukan pengarahan. Kekaburan peran ini menjadikan masa remaja menjadi masa yang penuh dengan goncangan (orang barat menyebutnya dengan sturm und drung), masa peralihan dan masa pencarian identitas (Hurlock, 1993, Darajad, 1970,Bisri, 1995, Monks, 2002). Hal ini juga identik dengan kata ’pemberontakan’, dalam masalah psikologi sendiri sering disebut masa storm and stress karena banyaknya goncangan-goncangan dan perubahan-perubahan yang cukup radikal dari masa sebelumnya (Kartini Kartono, 1992).
Salah satu tugas perkembangan remaja yang harus dilalui adalah mampu berpikir secara lebih dewasa dan rasional, serta memiliki pertimbangan yang lebih matang dalam menyelasaikan masalah. Mereka harus mampu mengembangkan standard moral dan kognitif yang dapat dijadikan sebagai petunjuk dan menjamin konsistensi dalam membuat keputusan dan bertindak. Dengan kata lain remaja harus memiliki kemampuan intelektual serta konsepsi yang dibutuhkan untuk menjadi warga masyarakat yang baik.
Perkembangan cara berpikir merupakan satu hal yang cukup menarik untuk dicermati, karena pada fase ini cara berpikir konkrit yang ditunjukkan pada masa kanak-kanak sudah ditinggalkan. Namun perkembangan cara berpikir ini ternyata tidak terlepas dari kehidupan emosinya yang naik turun juga. Penentangan dan pemberontakan yang ditunjukan dengan selalu melancarkan banyak kritik, bersikap sangat kritis pada setiap masalah, menentang pereturan sekolah maupun di rumah menjadi suatu ciri mulai meningkatnya kemampuan berpikir dengan sudut pandang yang mulai meluas pada remaja. Oleh karenanya setelah melalui fase negatif pertama pada usia 2-4 tahun, masa ini sering pula disebut Trotzalter atau fase negatif kedua (Kartini Kartono, 1992).

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Kognitif
Kognitif dalam konteks ilmu psikologi sering didefinisikan secara luas mengenai kemampuan berpikir dan mengamati, suatu perilaku yang mengakibatkan seseorang memperoleh pengertian atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengertian. Dengan kata lain merupakan cara berpikir tentang sesuatu dan cara mengetahui sesuatu. Kemampuan berkonsentrasi terhadap suatu rangsang dari luar, memecahkan masalah, mengingat atau memanggil kembali dari memorinya suatu kejadian yang telah lalu, memahami lingkungan fisik dan sosial termasuk dirinya sendiri dan proses kognitif (Soetjiningsih, 2007).
Menurut Jean Piaget, seorang ahli perkembangan kognitif (Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Jean Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, di mana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ideide tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.
Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Jean Piaget mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations).Jean Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (Papalia & Olds, 2001).


B. Teori Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif manusia sendiri berkembang secara bertahap (Soetjiningsih, 2007). Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Jean Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata (skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya) dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Jean Piaget memperoleh Erasmus Prize. Jean Piaget membagi skema atau tahapan yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia (Wikipedia, 2009).
Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Jean Piaget (Soetjiningsih, 2007):
1. Stadium sensori-motorik (umur 0-18 bulan atau 24 bulan)
Pada stadium ini perkembangan inteligensi anak baru nampak dalam bentuk aktifitas motorik sebagai rekasi stimulasi motorik. Gerakan-gerakan refleks seperti menghisap, meraih, menggenggam, menggoyang-goyangkan badan, gerakan seperti memukul dan menendang sesuatu merupakan tahap pertama yang akan membawa anak ke arah penguasaan pengetahuan mengenai dunia luar. Dalam stadium ini yang penting adalah tindakan kongkrit, bukan tindakan imaginer atau hanya dibayangkan saja.
Pada stadium sensori motorik anak akan berkembang ke arah suatu proses. Jean Piaget menamakan proses ini proses desentrasi artinya anak dapat memandang dirinya sendiri dan lingkungan sebagai dua entitas yang berbeda. Jean Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan (Wikipedia, 2009):
1. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
6. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
2. Stadium pra-operasional (umur 18 bulan – 7 tahun)
Stadium ini dimulai dengan penguasaan bahasa yang sistematis, permainan simbolis (mampu bermain pura-pura misalnya korek api dibayangkan sebagai mobil), imitasi tingkah laku (meniru perilaku ibu atau ayahnya, dokter yang kemarin memeriksanya) maupun bayangan dalam mental. Semua proses ini menunjukkan bahwa anak sudah mampu berpikir simbolis, tidak lagi mereaksi begitu saja terhadap stimulus-stimulus melainkan ada suatu aktifitas internal, meskipun memang masih ke arah egosentris. Anak belum mampu untuk berpikir dengan mengambil persepektif atau sudut pandang orang lain baik secara konseptual, persepsual dan emosional-motivasional.
Menurut Jean Piaget (Wikipedia, 2009) tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hiduppun memiliki perasaan.
Ciri yang jelas pada stadium pra operasional adalah centralized atau memusat, anak hanya mampu memusatkan perhatian pada satu dimensi saja, tidak dapat dibalik (irreversible) karena belum memahami sebab akibat serta bersifat terarah statis.

3. Stadium operasional konkrit (umur 7 – 11 tahun)
Stadium operasional konkrit dapat digambarkan sebagai penyempurnaan kekurangan stadium pra operasional. Pada fase ini egosentris berpikir sudah mulai menghilang. Anak mampu melakukan desentrasi, yaitu mampu memperhatikan lebih dari satu dimensi sekaligus dan mampu menghubungkan dimensi-dimensi tersebut. Anak juga mampu memperhatikan aspek dinamis dari perubahan situasi, sehingga mampu memahami operasi logis suatu reversibilitas ataupun hukum sebab akibat.
Namun seperti yang sudah ditunjukkan secara tersirat oleh istilahnya sendiri, pada stadium ini anak mampu melakukan aktifitas logis tertentu tetapi hanya dalam situasi yang konkrit. Apabila dia dihadapkan pada suatu masalah secara verbal ataupun abstrak yaitu tanpa adanya bahan yang kongkrit, maka dia belum mampu menyelesaikannya dengan baik.
Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
 Pengurutan
Kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
 Klasifikasi
Kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
 Decentering
Anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
 Reversibility
Anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4 + 4 sama dengan 8, 8 - 4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
 Konservasi
Memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
 Penghilangan sifat Egosentrisme
Kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
4. Stadium operasional formal (mulai umur 11 tahun)
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Jean Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
Kemampuan berpikir pada stadium ini ditandai dengan dua sifat yang penting yaitu:
a. Kemampuan deduktif-hipotesis
Bila anak dihadapkan pada suatu masalah yang harus diselesaikannya, maka dia akan memikirkan dulu secara teoritis, menganalisa masalahnya dengan mengembangkan penyelesaian memulai berbagai hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisis ini, ia akan membuat suatu strategi penyelesaian. Analisis teoritis ini dapat dilakukan secara verbal, anak mengeluarkan ide-ide tertentu yang sering disebut proposisi-proposisi, kemudian mencari hubungan antara proporsi yang berbeda-beda tersebut. Oleh karenanya berpikir operasional formal sering juga disebut sebagai cara berpikir proporsional.

b. Bersifat kombinatoris
Berhubungan dengan cara bagaimana melakukan analisisnya maka sifat kombinatoris menjadi pelengkap cara berpikir operasional formal. Ini hampir menyerupai tahap trial & error pada stadium 12-18 bulan. Tetapi langkah coba-coba pada stadium operasional formal memiliki dasar teoritis dan hipotesis yang pasti.
Sebagai contoh, ada lima buah tabung berisi cairan warna yang berbeda, dua orang anak diminta untuk mencari kombinasi warna, maka:
Tahap operasinal konkrit Tahap operasional formal
Anak yang dalam stadium operasional konkrit akan mencoba-coba mencari kemungkinan-kemungkinan kombinasi warna tersebut tidak secara sistematis, hanya secara trial & error sampai secara kebetulan dia menemukan suatu kombinasi warna. Tetapi dia tidak mampu lagi untuk mengulang dan memproduksi kombinasi warna tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi yang ditemukan hanyalah sekedar kebetulan, bukan berdasarkan suatu tindakan empiris. Anak yang sudah memasuki stadium operasonal formal akan terlebih dahulu secara teoritis membuat matriks mengenai segala macam kombinasi yang mungkin tercipta. Kemudian secara sistematis akan mencoba setiap sel matriks tersebut secara empiris. Bila ia menemukan penyelesaiannya dengan betul maka ia akan mencoba untuk memproduksinya kembali serta kemudian mampu membuat suatu analisi dan kesimpulan.

Kemampuan kognitif remaja yang diklasifikasikan mulai usia 11 – 18 tahun tergolong dalam stadium oprasional formal ini. Keating (Kimmel,1990) berpendapat ada 5 karakteristik cara berfikir yang membedakan dengan stadium sebelumnya yaitu:
1. Mampu berfikir tentang kemungkinan kemungkinan baik yang telah terjadi maupun kemungkinan yang akan terjadi.
2. Berfikir dengan hipotesis.
3. Befikir jauh ke depan, membuat rencana kedepan, dan merencanakan strategis yang tepat.
4. Metakognisi, adalah suatu proses berfikir tetntang berfikir, mereka mampu mengukur kemampuan diri, pengetahuan, tujuan, serta langkah langkah untuk mancapainya, dangan kata lian meraka mampu merancanakan, membuat suatu keputusan dan mengambil strategi atau alternatif pemecahan masalah
5. Berfikir tanpa batas dan bersifat abstrak, misalnya tentang politik, agama atau keyakinan, moral hubungan antar manusia.
Jadi nampak sekali perbedaannya dengan cara berfikir konkrit yang ditunjukan anak-anak. Remaja telah mampu mengembangkan kemampuan berfikirnya secara abstrak, memkai prinsip-prinsip logika dalam berfikir teoritis, lebih konseptis dan sudah mampu pula membuat generalisaisi. Hal ini terjadi karena miningkatkan kemampuan kognisi juga kemampuan imajinasinya dengan kemampuan abtraksinya memungkinkan remaja untuk mengadakan understanding tanpa harus secara langsung terlibat dalam peristiwanya. Perhatikan mereka semakin besar terutama terhadap hal-hal yanng tidak langsung sifatnya, ingin meninjau segala sesuatunya sacara objektif sehinggan sering terlontar kritiknya yang tajam,sekaligus ingin meninjau dirinya sediri.
Dengan kemampuan-kemampuan tersebut maka remaja semakin yakin akan kemampuannya dalam mengambil keputusannya sendiri dan tidak lagi terlalu tergantung kepada orang lain (Murniati & Beatrix, 2000). Ini pula yang sering menjadi pemicu konflik antara remaja dengan sekolah, orang tua atau lingkungan.
Menurut Piaget, pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.
Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak. penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.
Keempat tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Wikipedia, 2009):
• Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia bervariasi tetapi urutannya selalu sama. Tidak ada ada tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan yang mundur.
• Universal (tidak terkait budaya).
• Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi yang ada dalam diri seseorang berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan.
• Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara logis.
• Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen dari tahapan sebelumnya, tapi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi).
• Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam model berpikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif.

C. Faktor Perkembangan Kognitif Remaja
Menurut pandangan teori pemrosesan informasi, kemampuan berfikir pada usia remaja disebabkan oleh meningkatnya ketersediaan sumberdaya kognitif (cognitive resource). Peningkatan ini disebabkan oleh automaticity atau kecepatan pemrosesan (Case; Keating & MacLean; dalam Carlson, dkk. 1999); pengetahuan lintas bidang yang makin luas (Case, dalam Carlson, dkk. 1999); meningkatnya kemampuan dalam menggabungkan informasi abstrak dan menggunakan argumen-argumen logis (Moshman & Frank, Carlson, dkk., 1999); serta makin banyaknya strategi yang dimiliki dalam mendapatkan dan menggunakan informasi (Carlson, dkk., 1999).
Walaupun cara berfikir kelompok remaja (usia 11 tahun ke atas) berbeda dengan anak usia 7 - 11 tahun, akan tetapi bila ditelaah lebih jauh, di antara para remaja sendiri sering ditemukan perbedaan (Seifert dan Hoffnung, 1987). Perbedaan tersebut, menurut Torgesen (Collins, dkk., 2001), terjadi antara lain karena faktor penggunaan strategi kognitif yang dimiliki oleh masing-masing individu.

D. Perkembangan Kognitif dan Agama
Sejalan dengan meningkatnya kemampuan abstraksi dan daya kritisnya, remaja sering kali meninjau agama dari segi rasio dan kadang-kadang tampa melalui penghayatan. Hal ini berbeda dengan masa kanak-kanak yang menerima ajaran agama secara konkrit. Konflik yang sering dihadapi remaja dalam hal ini adalah berbedanya antara ajaran agama dengan yang diterima dengan kenyataan-kenyataan yang ada dilingkungannya. Ini disebabkan pada masa remaja nilai-nilai hidup dan penghayatan tentang kebaikan, kebaikan dan kebenaran mulai timbul dan berkembang.
Remaja mulai menginternalisasikan nilai-nilai tersebut melalui pengenalan dan identifikasi. Bila yang dijumpai adalah nilai dan norma serta contoh-contoh yang baik maka ia akan menjadi baik, bahkan sering terlalu kaku dalam mengamalkan kebaikan sehingga terlihat kasar dan tajam kritikannya terhadap keburukan atau penyimpangan di lingkunngannya (Wardani, 1990). Situasi inilah yang sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk megorganisir remaja melakukan demokrasi menentang keabijakan pemerintah atau mengeritik tajam suatu kebijakan lingkungan. Kondisi ini memang disebabkan kerena remaja belum banyak memiliki pengalaman dan masih sempitnya dasar pertimbangan sebagi apa yang dianggapnya benar atau baik yang harus dijalankan seperti apa adanya. Sebaliknya apabila yang didapatkan adalah nilai-nilai dan contoh-contoh yang buruk dan negatif maka semua itu akan dinetralisasikan dan menjadi frame of reference, serta akan tercermin dari sikap cara berfikir dan perbuatan yang negatif pula. Namun dengan bertambahnya kemampuan remaja untuk memahami arti kehidupan di sekelilingnya secara poatensial, maka remaja akan lebih memahami secara mendasar arti agama serta menyikapi sikap-sikap sosial dalam lingkungannya, pada ahkirnya mereka akan belajar memahami dan mencapai pengertian bahwasanya berbicara dan mengeritik secara tajam ternyata lebih jauh muda dari pada pelaksanaanya, ini karena kemampuan berfikir abstrak dan metakognisinya akan terus berkembang
Pada dasarnya setiap proses perkembangan sendiri termasuk perkembangan konitif pada remaja dipengarui oleh beberapa faktor:
a. Pematangan (maturation)
Tumbuhnya stuktur-struktur fisik secara berangsur-angsur memiliki akibat pada perkembangan kognitif pula. Contoh yang jelas dalm hal ini adalah pertumbuhan pusat susunan otak
b. Pengalaman psikologis dan kontak dengan lngkungan (exercise throug physical partice and mental experience)
Kontak dengan lingkungan akan mengakibatkan dua macam ciri pengalaman mental. Pertama adalah fisik, yaitu aktifitas yang dapat mengabtraksi sifat fisik objek-objek terentu. Penglaman fisik ini memberikan pengertian mengenai sifat yang langsung berubungan dengan objeknya sendiri. Misalnya penertian bawa parfum A lebih harum daripada B, bergaul dengan C ternyata lebih menyenangkan dari pada dengan D. Yang kedua adalah pengalaman logika matematik, yaitu pengertian yang datang dari kordinasi internal prilaku individu tersebut
c. Transmisi sosial dan pembelajaran (social interaction and teaching)
Berbagai macam stimulasi sosial seperti media massa, lembaga sekolah, klub sosial dan sebagainya, ternyata memiliki pengaruh yang positif dalam perkembangan kognisi karena seseorang mendapatkan banyak inforamasi, dan kemudian melakukan suatu pembelajaran. Kenyataan ini nampak jelas dari pengamatan kita, bahwa remja perkotaan yang memiliki banyak fasilitas dan stimulasi sosial yang beragam menunjukan tinkat kognitif yang lebih tinggi dibandingkan remaja pedesaan.
d. Ekuilibrasi (equilibration)
Proses ekuilibrasi menintegrasi efek ketiga faktor diatas yang masing-masing kurang cukup memberikan keterangan mengenai proses perkembangan. Proses ini merupakan suatu proses internal untuk mengatur keseimbangan diri dalam individu.

E. Perkembangan Kognitif dan Prestasi Di Sekolah
Kemampuan kognitif normal maupun prestasi yang di capai di sekolah ternyata buruk, ini merupakan problem yang cukup menggejala di kalangan remaja. Dalam istilah psikologi sering disebut underachiever , masalah sosial dan emosional ternyata di temukan sebagai sumber masalahnya.
Menurut Hermans (Haditono, 1994), penyebab underachiever sebenarnya adalah ketakutan akan gagal. Ini berhubungan dengan situasi pengajaran, di samping situasi kehidupan secara keseluruhan , yaitu tuntutan yang semakin berat dan persaingan yang semakin tajam. Remaja justru semakin tidak mengerti kemampuan sendiri dalam hubungan pengajaran dan pendidikan. Hal ini disebabkan karena murid semakin dihadapkan dengan kemungkinan pilihan yang lebih banyak di dalam maupun di luar situasi pengajaran. Singkatnya, ketakutan untuk gagal ini disebabkan oleh keraguan total, yang menyebabkan kapasitas intelektual tidak sepenuhnya dapat bekerja.
Sementara menurut observasi Haditono (1994) keadaan underachiever di Indonesia sendiri, disebabkan oleh masalah yang cukup kompleks, suatu kombinasi dari faktor yang cukup banyak. Faktor pertama adalah kurangnya faktor belajar secara luas di sekolah, terutama di pelosok-pelosok maupun di rumah. Faktor kedua adalah kurangnya stimulasi belajar dan stimulasi mental. Hal ini terutama berlaku bagi orang tua dengan pendidikan yang rendah sehingga mereka kurang mengerti bagaimana membantu anak-anak agar lebih berhasil. Sementara pada orang tua dengan pendidikan tinggi kesibukan bekerja menjadi kendalanya. Faktor ketiga adalah kecukupan gizi, yang bilamana dapat mencapai tingkat yang lebih baik maka secara fisik anak pun akan menggunakan kapasitas otaknya secara maksimal. Faktor lain yang kurang menguntungkan adalah perubahan sistem belajar yang terlalu sering bahkan pada setiap periode sendiri belum merasa mantap dalam menerapkan sistem pengajaran, tentu ini memberikan dampak pada prestasi murid dan ikut menyebabkan terjadinya underachiever atau prestasi di bawah normal.
Suatu perubahan yang menarik berkaitan perkembangan kognitif dan minat belajar remaja sendiri terutama di Denpasar diteliti oleh Suryani (1997). Suatu fakta yang agak memprihatinkan ditemukan dalam penelitian ini, ternyata mayoritas dari 415 siswa yang diteliti memiliki minat membaca yang rendah, mereka jarang membaca surat kabar, majalah atau novel sehingga kurang tanggap terhadap perkembangan zaman. Rasa ingin tahunya terhadap sesuatu ternyata kurang. Kebanyakan siswa mengaku jenuh karena hari-harinya sibuk diisi urusan sekolahan dan les di sore harinya. Gairah belajar kurang dan mereka cenderung belajar sendiri kalau akan ada ulangan. Jarang siswa yang memiliki kelompok belajar. Kebanyakan siswa sulit diajak komunikasi verbal, bahkan cenderung apatis terutama siswa yang kemampuan yang agak lambat.
Murniati dan Beatrix (2000) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa remaja sekarang lebih menekankan pada pemikiran dan tindakan yang mandiri, senang dengan perubahan., lebih menekankan kesadaran akan diri dan inisiatif pribadi yang mengindikasikan kecenderungan untuk menempatkan kepentingan diri di atas kelompok. Jadi ada indikasi cara berpikir yang menuju kea rah individualistik.

BAB III
KESIMPULAN

Memasuki usia 11 tahun ke atas biasanya seorang anak akan memiliki kemampuan berpikir ke arah operasional formal. Ini sangat diperlukan bagi seorang remaja karena memiliki tugas perkembangan yaitu mengembangkan kemampuan kognitifnya secara lebih konsisten, terarah dan bertanggung jawab yang akan berguna dalam penyelaian masalah. Dengan kemampuan kemampuan metakognisi dan daya abstraksinya diharapkan remaja mampu mengukur kemampuan diri, memiliki tujuan, mengalisa alternatif pemecahan masalah, merencanakan strategi dan mengambil suatu keputusan. Semakin besar perhatian remaja terutama terhadap hal-hal yang tidak langsung sifatnya membuatnya ingin meninjau segala sesuatunya secara objektif sehingga sering terlontar kritik yang tajam dan pedas. Demikian juga terhadap agama dan nilai-nilai di lingkungannya, sering ditinjau dari sisi rasio dan kadang-kadang tanpa melalui penghayatan. Namun seiring dengan perkembangan kemampuan abstraksinya maka remaja akan mencapai tahap pengertian bahwasanya mengkritik secara tajam lebih mudah daripada palaksanaannya. Bagaimanapun peran lingkungan memiliki andil yang sangat besar untuk menjadi motivator bagi peningkatan kognitif remaja atau justru provokator bagi penurunan ataupun degradasi kemampuan kognitifnya.

DAFTAR PUSTAKA


http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_perkembangan_kognitif, diakses tanggal 10 Mei 2009

http://suhadianto.blogspot.com/2009/02/polah-asuh-dan-perilaku-delinkuen.html, diakses tanggal 10 Mei 2009


http://rumahbelajarpsikologi.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=101, diakses tanggal 10 Mei 2009


Kartini Kartono. 1992. Psikologi Wanita Jilid I: Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa. Bandung: Mandar Maju

Kimmel Douglas C. 1990. Adulthood and Aging, an interdisciplinary, developmental view. 3th ed. New York:John Wiley & Sons Inc


Murniati J & Beatrik sophie. 2000:59-64. Perbedaan nilai remaja sekarang dengan generasi sebelumnya. Fakultas Psiologi UI. Jurnal Psiologi Sosial. VII

Monks, F.J., Knoers A.M.P., haditono Siti Rahayu. 1994. Psikologi perkembangan, pengantar dalam berbagai bagianya. Yogyakarta : Gajah Mada University Press

Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. 2001. Human development (8th ed.). Boston: McGraw-Hill

Santrock, J.W. 2001. Adolescence (8th ed.). North America: McGraw-Hill

Soetjiningsing. 2007. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya.
Jakarta:Sagung Seto

Suryani LK. 1997. Profil remaja SMA di Denpasar dan permasalahannya. Peringatan tiga belas tahun Klinik Tumbuh Kembang Leb/ SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/ RSUP Denpasar

Wardani Ria. 1999: 51-61. Hubungan Gaya Pengasuhan Orangtua dengan Pembentukan Identitas Bidang Agama pada Remaja Di Kodya Bandung. Fakultas Psiologi UNPAD Bandung. Jurnal Psiologi

Belajar bikin proposal penelitian 'Pengaruh Pelajaran Seni Musik terhadap Pengurangan Depresi pada Remaja (Siswa SMP)'...masih banyak yg kurang nih..

BAB I
PENDAHULUAN

Semua bangsa maju di dunia seperti Jerman, Amerika, Jepang, Inggris, Australia dan negara Eropa pada umumnya adalah bangsa yang musical. Pengertian musikal yang dimaksud disini adalah pertama dapat memainkan instrumen musik atau menyanyi dengan baik, pengertian kedua tidak dapat bermain musik atau menyanyi dengan baik, tetapi dapat mengapresiasikan musik. Disini dimana musik diperhatikan benar oleh Negara-negara tersebut dimana dibuktikan dengan semua sekolah unggulan memasukkan mata pelajaran musik sebagai materi wajib intrakurikuler dan diperkaya dengan kegiatan ekstrakurikuler, dimana materi pelajaran musik yang diajarkan meliputi musik universal dan musik tradisional, dan nampak hasil pembelajaran siswa-siswa sekolah unggulan tersebut pun rata-rata sangat baik.
Namun kurikulum nasional di Indonesia, hanya menekankan perkembangan intelektual semata dan kurang memperhatikan perkembangan kecerdasan emosi. Hal ini tampak dengan banyaknya tawuran pelajaran di tingkat sekolah menengah dan tingkat lanjutan pertama, siswa sekolah dasar terbebani dengan padatnya mata pelajaran yang harus dihafal dan yang harus dikerjakan sehingga pembelajaran menghapus keceriaan anak pada masa perkembangannya. Kurikulum pendidikan formal di Indonesia hanya menekankan perkembangan intelektual semata dan tidak memperhatikan perkembangan kecerdasan emosi. Melihat alokasi waktu mata pelajaran musik setiap minggu hanya waktu 2 x 45 menit, (GBPP kurikulum mata pelajaran kesenian 1994) yang masih terbagi dengan mata pelajaran seni tari, seni rupa, dan kerajinan tangan.Need Assessment (Mudhoffir) menemukan perbedaan (discrepancy) antara apa yang ada sekarang dan apa yang idealnya diinginkan ada (Pamangsah, 2009).
Banyak siswa yang mengalami stress dan depresi karena merasa jenuh dengan pelajaran di sekolah. Depresi yang dialami oleh siswa yang ada di kelas reguler, mupun akselerasi atau kelas percepatan. Padahal mereka tergolong anak-anak dengan IQ tinggi (Mukti, 2009).
Pada kelas regular, depresi yang dialami sering terjadi pada siswa kelas IX yang akan menjalani ujian nasional. Kegiatan di sekolah yang meliputi proses belajar pelajaran yang dianggap memerlukan pikiran yang ekstra dan kegiatan lain di luar jam sekolah seperti tambahan pelajaran untuk persiapan ujian serta kegiatan les di luar sekolah yang dilakukan siswa dianggap membuat jenuh sampai merasa depresi. Menurut siswa, tim pengajar tidak memperhatikan kondisi psikologis siswa, sehingga siswa semakin merasa depresi.
Pengurangan atau penanggulangan depresi pada remaja tersebut bisa dilakukan dengan memaksimalkan proses pembelajaran pelajaran seni musik. Seni musik mengandung banyak kajian, baik dari sisi ilmu dan pengetahuan maupun faktor psikologis yang bisa memberi pengaruh pada siswa (Hardjito, 2009). Pendidikan musik khususnya banyak sekali memberikan kontribusi bagi perkembangan dan keseimbangan rasional, emosional, intelektual dan kesadaran estetis (Gunara, 2009).
Musik bisa digunakan untuk menenangkan dan membawa hal-hal positif ke dalam pikiran. Dengan begitu, akan menjauhkan depresi dan segala kecemasan. Musik juga bisa mencegah respon stress yang bisa mengakibatkan kerusakan di dalam tubuh, menjaga kreatifitas dan sikap optimis tetap tinggi, serta menawarkan berbagai keuntungan lainnya (Tarigan, 2009). Menurut Dileo, Direktur Pusat Penelitian Seni dan Meningkatkan Kualitas Hidup,Universitas Temple, Philadelphia, Amerika Serikatmusik bisa membantu tubuh menjdi lebih rileks dan bertenaga serta dapat menghilangkan depresi dan mencegah kanker.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana pengaruh pelajaran seni musik terhadap pengurangan depresi pada remaja di SMP N 20 Purworejo?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum dilakukan utuk mengetahui pengaruh pelajaran seni musik terhadap pengurangan depresi pada remaja di SMP N 20 Purworejo.
2. Tujuan Khusus
Penelitian ini secara khusus dilakukan untuk:
1. Mengetahui respon remaja SMP N 20 Purworejo terhadap pelajaran seni musik yang diberikan.
2. Mendeskripsikan pembelajaran seni musik dapat dijadikan sebagai cara untuk mengurangi depresi pada remaja di SMP N 20 Purworejo.
3. Mencari solusi dalam rangka untuk memperbaiki penyimpangan psikis yang terjadi pada remaja sekolah.

D. Manfaat
1. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan wawasan berpikir mengenai pengaruh pelajaran seni musik terhadap pengurangan depresi pada remaja.
2. Bagi Kesehatan Masyarakat
Menambah informasi bacaan, studi pustaka dan sebagai tambahan pengetahuan akademisi kesehatan reproduksi, serta aplikasi kesehatan reproduksi pada remaja.
3. Bagi Masyarakat
Menambah pengetahuan bagi masyarakat khususnya dalam bidang kesehatan remaja, sehingga masyarakat dapat berperan serta dalam pencegahan dan pengendalian terjadinya permasalahan pada remaja.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Seni Musik
Dari sudut pandang psikologi seni memiliki arti luas, yaitu menunjukkan setiap cara yang sesuai untuk mengekpresikan diri, berupa tindakan atau sikap yang menyampaikan pada taraf kelengkapan dan kejernihan tertentu dari balik mental, ide, dan emosi. Seni membantu mengidentifikasi ”siapa kita” dan ”apa potensi kita”. Manfaat dari mempelajari seni diantaranya membantu pembentukan kominikasi verbal dan nonverbal sehingga dapat mencapai usaha belajar yang optimal, karena seni memberikan kesempatan untuk berekspresi tanpa kata-kata saat tidak dapat diungkapkan secara verbal. Selain dapat bermanfaat dalam pengungkapan perasaan, seni juga menjadi kreator untuk mewujudkan diri secara keseluruhan (self actualization) sebagai salah satu kebutuhan pokok hidup manusia dalam teori kebutuhan Maslow.
Musik adalah produk pikiran (Djohan, 2005). Menurut Parker (1990), elemen vibrasi (fisika dan kosmos) atau frekuensi, bentuk, amplitudo, dan durasi belum menjadi musik bagi manusia sampai semua itu ditransformasikan secara neurologis dan diintrepetasikan melalui otak menjadi: pitch, warna suara, keras lembut, dan waktu (dalam kerangka tonal). Transformasi ke dalam musik dan respon manusia (perilaku) adalah unik untuk dirasa (afeksi) karena otak besar manusia (kognisi) berkembang dengan amat pesat sebagai akibat pengalaman musikal sebelumnya.
Musik sendiri memiliki dimensi kretif dan memiliki bagian yang identik dengan proses belajar secara umum. Sebagai contoh, dalam musik terdapat analogi melalui persepsi, visual, auditori, antisipasi, pemikiran induktif-deduktif, memori, konsentrasi, dan logika. Dalam musik juga dapat dibedakan serta dipelajari cepat-lambat, rendah-tinggi, keras-lembut yang berguna untuk melatih kepekaan terhadap stimulan lingkungan. Selain itu musik juga berpengaruh sebagai alat untuk meningkatkan dan membantu perkembangan kemampuan pribadi dan sosial. Perkembangan pribadi meliputi aspek kemampuan kognitif, penalaran, intelegensi, kreativitas, membaca, bahasa, sosial, perilaku dan interaksi sosial. Beberapa penelitian menemukan bahwa kemampuan analisa verbal berkorelasi pada kemampuan musik pada anak, sedangkan kemampuan ruang berhubunagn dengan kemampuan musik pada remaja atau orang dewasa (Djohan, 2005).

2. Pelajaran Seni Musik
Menurut para ahli, pendidikan musik merupakan sarana yang paling efektif bagi pendidikan kreativitas. Pendidikan musik juga dapat menjadi sarana pendidikan afektif untuk menyalurkan emosi dan ekspresi anak. Selain itu, pendidikan musik dapat menjadi pendidikan keterampilan. Jadi secara konseptual, pendidikan musik sangat besar peranannya bagi proses perkembangan anak. Plato menyatakan bahwa seni seharusnya menjadi dasar pendidikan. Dari pendapat ini kita bisa beranggapan bahwa sesungguhnya seni atau pendidikan seni mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang pendidikan secara umum (Gunara, 2009).
Konsep pendidikan melalui seni juga dikemukan oleh Dewey bahwa seni seharusnya menjadi alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan bukannya untuk kepentingan seni itu sendiri. Maka melalui pendidikan melalui seni tercapai tujuan pendidikan yaitu keseimbangan rasional dan emosional, intelektual dan kesadaran estetis. Merujuk pada konsep pendidikan melalui seni, maka pelaksanaannya lebih ditekankan pada proses pembelajaran dari pada produk. Dengan penekanan pada proses pembelajaran, maka sasaran belajar pendidikan seni tidak mengharapkan siswa pandai menyanyi, pandai memainkan alat musik, pandai menggambar dan terampil menari. Melainkan sebagai sarana ekspresi, imajinasi dan berkreativitas untuk menumbuhkan keseimbangan rasional dan emosional, intelektual dan kesadaran estetis. Kalau memang ternyata melalui pendidikan seni dapat menghasilkan seorang seniman maka itu merupakan dampak saja. Dengan penekanan pada proses pembelajaran, maka guru pun dapat melaksanakannya. Kekurangan kemampuan guru dalam hal pendidikan seni dapat ditutup dengan penggunaan berbagai media pembelajaran yang memadai. Seperti yang telah dipaparkan di atas, pendidikan musik khususnya banyak sekali memberikan kontribusi bagi perkembangan dan keseimbangan rasional, emosional, intelektual dan kesadaran estetis. Banyak sekali hasil penelitian yang memberikan informasi kepada kita tentang pentingnya pendidikan seni khususnya musik bagi perkembangan anak, berikut beberapa hasil penelitian dirangkum dari Bulletin


of the Council for Research in Music Education, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan musik/pendidikan seni, memudahkan perkembangan anak dalam bahasa dan kecepatan membaca.
2. Aktivitas bermusik/berkesenian sangat bernilai bagi pengalaman anak dalam berekspresi dan lain-lain.
3. Aktivitas bermusik/berkesenian membantu perkembangan sikap positif terhadap sekolah dan mengurangi tingkat ketidakhadiran siswa di sekolah.
4. Keterlibatan dalam kegiatan bermusik/berkesenian secara langsung mempertinggi perkembangan kreativitas.
5. Pendidikan musik/pendidikan seni memudahkan perkembangan sosial, penyesuian diri, dan perkembangan intelektual.
3. Remaja
Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefinisikan remaja adalah seorang anak yang sudah mencapai umur 10-18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun untuk anak laki-laki. Menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 mengenai Kesejahteraan Anak, remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut WHO, remaja bila anak talah mencapai umur 10-18 tahun.
Dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati tahapan berikut:
1. Masa remaja awal/dini (Early adolescence): umur 11-13 tahun.

2. Masa remaja pertengahan (Middle adolescence): umur 14-16 tahun.
3. Masa remaja lanjut (Late adolescence): umur 17-20 tahun.

4. Depresi
a. Pengertian Depresi
Depresi dalam penggunaan istilah sehari-hari biasanya dikaitkan dengan perasaan sedih, murung, putus asa, merana dan tidak bahagia. Depresi dapat juga diartikan sebagai sekumpulan gejala atau sindroma (disertai perbahan kognitif, psikomotor dan vegetatif). Selain itu dapat diartikan sebagai kesatuan penyakit (dengan gambaran klinis yang khas, dasar riwayatnya dan hubungan dengan keadaan biologisnya).
Manifestasi depresi antara lain adalah dalam bentuk sindrom, keluh kesah dan gejala saling terikat secara teratur dan dianggap sebagai pancaran gangguan pada beberapa segi, tidak hanya pada segi psikis saja tetapi juga pada segi somatik. Sedangkan pada segi psikis tidak hanya terbatas pada satu bagian saja, misalnya pada konsentrasi, ingata, perasaan kosong, terhambat dalam berpikir dan lain-lain. Dari segi somatik ada penurunan nafsu makan sampai penurunan berat badan, gangguan tidur, gangguan perut sampai obstipasi, gangguan libido, gangguan vegetatif dalam bentuk berdebar-debar, sesak nafas, termor dan kecemasan. Gangguan depresi yang tidak terdeteksi dan tidak mendapat terapi yang memadai dapat menimbulkan dampak cukup serius baik dalam fungsi sosial, kualitas hidup pasien maupun dalam beban kondisi lainnya, bahkan sampai maslah bunuh diri.
Depresi perlu dibedakan dengan kesedihan biasa, karena depresi adalah salah satu gangguan jiwa sedangkan kesedihan adalah fenomena yang dapat dialami oleh setiap manusia. Dua hal itu dapat dibedakan secara kuantitatif, pada depresi gejala lebih lama, gejala lebih intensif dibandingkan dengan kesedihan biasa. Pada depresi faktor presipitasi tidak sejelas pada kesedihan biasa dan kualitas gejala depresi ada khusus seperti waham, halusinasi dan pikiran bunuh diri yang tidak terdapat pada kesedihan biasa.
Depresi yang nyata mempunyai trias gejala yaitu:
4. Tertekannya perasaan
Tertekannya perasaan dapat dirasakan oleh si penderita, dilaporkan secara verbal, dapat pula diekspresikan dalam roman muka yag sedih tidak mengindahkan dirinya, mudah menangis dan sebagainya.
5. Kesulitan berpikir
Kesulitan berpikir nampak dalam reaksi verbalnya yang lambat, sedikit sekali bicara dan penderita menyatakan dengan tegas bahwa proses berpikirnya menjadi sangat lambat.
6. Kelambatan psikomotor
Kelambatan psikomotor merupakan geja yang dapat dinilai secara objektif oleh pengamat dan juga drasakan oleh penderita. Misalnya: mudah lelah, kurang antusias, kurang energi, ragu-ragu, keluhan somatik yang tak menentu (Soetjiningsih, 2007).

b. Depresi pada Remaja
Depresi yang nyata dapat dilihat pada anak usia lebih dari 10 tahun terutama pada usia remaja, dimana superego, kemampuan verbal, kognitif dan kemampuan menyatakan perasaan seudah berkembang lebih matang sehingga gejala depresi pada orang usia ini mirip dengan gejala depresi pada orang dewasa. Pada usia lebih dari 10 tahun, penggunaan proses berpikir secara realistik makin berkembang, penggunaan fantasi sebagai alat pelarian makin hilang, sudah tidak menggunakan mekanisme pembelaan yang priitif dan makin berkembang suara hati nurani (superego) yang akan memperhebat perasaan bersalah dan rendah diri.
Gangguan depresi pada remaja dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu:
1. Depresi akut
Depresi akut mempunyai ciri-ciri, manifestasi gejala depresi jelas (nyata), ada trauma psikologis berat yang mendadak sebelum timbulnya gejala depresi, lamanya gejala hanya dalam waktu singkat, secara relatif mempunyai adaptasi dan fugsi ego yang baik sebelum sakit dan tidak ada psikopatologi yang berat dalam anggota keluarganya terdekat.
2. Depresi kronik
Depresi kronik mempunyai ciri-ciri, gejala depresi jelas (nyata), tetapi tak ada faktor pencetus yang mendadak. Gejalanya dalam waktu lebih lama daripada depresi akut. Ada gangguan dalam penyesuaian diri sosial dan emosional sebelum sakit, biasanya dalam bentuk kepribadian yang kaku atau inadekurat (kepribadian anankastik, histerik, dan sebagainya). Ada riwayat gangguan afektif (riwayat depresi) pada anggota keluarga terdekat.
3. Depresi terselubung
Gejala depresi tak jelas tetapi menunjukkan gejala lain misalnya, hiperaktif, tingkah laku agresif, psikosomatik, hipokondriasis, delinkuensi dan sebagainya.

Sesuai dengan perkembangannya, seorang remaja normal mempunyai kecenderungan untuk depresi sehingga sulit untuk membedakannya dengan patologis. Gejala depresi pada remaja sangat menyerupai yang terdapat pada usia dewasa. Geja depresi lainnya mirip dengan depresi pada anak sekolah yaitu:
a. Ekspresi afek yang depresif dan distorik terjadi dengan fantasi dan patologis. Tema depresi antara lain kehilangan dan penolakan, disalahkan, dihambat, dan dikritik, kematian dan bunuh diri. Tema ini muncul dari lamunan dan mimpinya. Fantasi ini merupakan gejala yang penting dar depresi dan mungkin tidak terdapat gejala lainnya, penampilan dan perilakunya mungkin tidak terganggu.
b. Gangguan dalam prestasi sokolah atau hubungan dengan teman mungkin gejala pertama dari depresi. Anak kurang berminat dalam belajar, kehilangan motivasi dan tidak gembira dengan prestasi yang dicapainya. Bila seorang ank yang padai prestasinya tiba-tiba menurun, segera harus dicari apa yang emnjadi faktor penyebabnya. Prestasi yang pertama menurun adalah dalam pelajaran yang sebelumnya memang kurang dikuasai. Juga perubahan perilaku anak perlu diperhatikan, misalnya anak yang biasanya pendiam tiba-tiba melucu atau sebaliknya.
c. Pada sebagian besar anak terjadi hipomotilitas motorik, merasa gelisah, perilakunya canggung atau kagok, menunjukkan agitasi dan bersifat accident prone. Sebagian lagi karena temperamennya berbeda justru menunjukkan hiperaktifitas dan agresifitas.
d. Karena perkembangan super-ego dan perkembangan kognitif dari moralitas maka anak menunjukkan rasa bersalah yang cukup bermakna. Anak merasa rendah diri dan bersalah terhadap apapun yang dilakukannya sehingga sering minta maaf dan ketentraman (reassurance) dari orang lain. Bila dorongan agresif dan bermusuh dalam diri anak depresi, maka dorongan tersebut akan ditunjukkandalam dirinya sendiri; anak akan mempunyai kecenderungan untuk melukai diri sendiri dan juga untuk bunuh diri.

Beberapa perbedaan depresi remaja dan dewasa adalah sebagi berikut:
1. Timbulnya pubertas (kematangan seksual) pada remaja dapat terlambat bila ada gejala anoreksia dan penurunan berat badan; hal ini terutama terjadi bila depresi yang diterima oleh remaja sudah bersifat kronis remaja dengan gejala depresi sering kali sulit untuk menerima perubahan yang terjadi karena pubertas. Sekresi hormonal dan stresor lingkungan dapat mendorong remaja dalam depresi yang cukup mendalam dan keinginan untuk bunuh diri.
2. Perkembangan kognitif mengalami hambatan yaitu dalam kemampuan untuk berpikir secara abstrak. Pada remaja bila cara berpikir masih konkrit, juga terdapat gejala menarik diri, isolasi dan low energy level maka akan menimbulkan kesan seolah-olah menderita gangguan kepribadian skizoid atau awal skizofrenia.
3. Harga diri yang rendah, perasaan tidak berdaya dan tidak ada harapan merupakan gejala yang menyolok. Adakalanya reaja mengatasi prasaan ini dengan menyangkal (denial), fantasi yang omnipoten atau dengan menyalahgunakan obat dan alkohol.
4. Perilaku antisosial sering kali juga merupakan gejala depresi pada remaja.

Beberapa pegangan menentukan terdapatnya depresi pada remaja, yaitu:
1. Pendekatan dan wawancara dengan remaja dengan cara diajak bercerita dan menanyakan tema dari cerita yang disampaikan, misalnya mengenai peristiwa perpisahan atau kehilangan orang yang bermakna, perubahan dalam hubungan anak remaja dengan orang yang bermakna. Sebaliknya dilakukan dengan tanpa kehadiran orang tua.
2. Observasi afek (suasana perasaan) dan perilaku remaja.
3. Alloanamnesis dengan menanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita depresi, neurosis, sosiopatik, dan sebagainya.
4. Bila anak remaja menjadi nakal, prestsi sekolah menurun, keluhan somatik tanpa disadari kelainan fisik maka harus dipikirkan kemungkinan depresi terselubung (Soetjiningsih, 2007).

5. Pengaruh Seni Musik dengan Depresi
Musik mempengaruhi perkembangan otak karena sifat plastis dari otak. Stimuli musik pada awal perkembangan akan sangat menentukan pengaruh dalam jangka waktu lama. Sebaliknya, awal pengalaman yang negatif (tanpa musik) akan mendapatkan konsekuensi dramatik yang berkepanjangan. Hubungan (interaksi) antara konsep psikologi dan musik juga ditunjukan oleh tumbuh kembangnya disiplin terapi musik dalam konteks pentingnya pengalaman musikal bagi kehidupan manusia. Gangguan mental secara psikologi dapat diobati denga kelengkapan teraupetik yang dimiliki dalam terapi musik.
Sloboda (1998) secara tegas mengatakan bahwa perasaan manusia terikat dengan bentuk musik karena terdapat konsistensi dalam respon musik yang secara relatif memberikan lingkungan yang sama. Dikatakan bahwa secara mendasar terdapat alasan yang kuat untuk menggunakan pendekatan kognitif dalam mengalami stimuli musik. Maka sudah selayaknya ada interaksi antara musik dan psikologi karena selain psikolog tertarik dengan interpretasi perilaku manusia juga karena musik sebagai bagian dari seni adalah bentuk perilaku manusia yang unik dan memiliki pengaruh yang kuat.
Teori dari Berlyne (1971) mengatakan bahwa bila kita mendengarkan musik, ada beberapa faktor yang dapat dihitung, seperti kompleksitas, keakraban, dan kesenangan baru yang diperoleh dari musiknya. Musik dikatakan akrab bila musik tersebut dialami sebagai sesuatu yang menimbulkan perasaan menyenangkan atau nyaman. Namun nilai hedonis akan menjadi rendah apabila musik itu merupakan informasi baru bagi pendengarnya, dan akan meningkat seiring dengan meningkatnya keakraban dengan musik itu. Selanjutnya nilai hedonis itu akan menurun lagi apabila musik tersebut benar-benar telah dikenal. Weinberger (1998) menilai teori Berlyne tersebut penting untuk terapi sejauh dapat dijelaskan mengapa musik yang sama dapat menghasilkan informasi yang berbeda terhadap orang yang sama dalam waktu yang berbeda.
Lewis, Dember, Scheefft dan Radenhausen (1995) menemukan pengaruh musik atau video dalam beberapa hasil pengukuran suasana hati melalui kuesioner tentang optimisme/pesimisme (OPQ), skala sikap dan skala Wessman-Ricks tentang Elation dan Depression. Sebelumnya dipilih musik dan video dengan kategori suasana hati positif atau negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa musik memiliki pengaruh yang kuat terhadap suasana hati tetapi tidak demikian dengan video. Musik dengan kategori positif menghasilkan peningkatan suasana hati negatif. Maka disimpulkan bahwa sebuah musik cenderung menimbulkan suasana hati yang sama dalam diri pendengarnya. Suasana hati yang disebabkan oleh musik merubah perhatian, persepsi, dan memori serta mempengaruhi keputusan seseorang terhadap kondisi mental dan emosionalnya. Cara berpikir dan perilaku diwarnai oleh musik yang tampaknya secara langsung dan tidak disadari mengakses ke lapisan bawah sadar otak manusia.
Smeijsters, Wijzenbeek, dan van Nieuwenhuijzen (1995) menegaskan bahwa dalam kehidupan pasien penderita depresi, beberapa nilai seperti, kekacauan, otoritas, kematian, religiositas, adalah penting. Dalam penelitiannya, penderita depresi diminta untuk mendengarkan penggalan 19 buah musik dalam dua sesi. Mereka diminta untuk memilih dari daftar yang berisi 14 nilai (seperti kekerasan, keluarga, dan relaksasi) yang ditangkap oleh pikiran mereka sesuai dengan musik yang didengar. Hasilnya menunjukkan bahwa penggalan-penggalan musik tersebut sungguh-sungguh menimbulkan nilai tetapi tidak saling berhubungan. Kalau dilihat dari pengertian istilah emosi secara umum tampak bahwa penelitian tersebut memberikan hasil tetapi sifat dasar responnya sering tidak ditemukan.
Pada banyak penelitian terapi musik dan psikologi musik, salah satu pendekatan yang dipilih adalah meminta seorang klien mendengarkan musik. Tidak banyak peneliti dalam terapi musik yang memilih topik pengalaman emosi saat klien menunjukkan aktivitas musik atau saat berimprovisasi. Bunt dan Parvlicevic (2001) dalam eksperimen klinis mereka menjelaskan bahwa aspek-aspek sentral dan emosi melalui musik justru terjadi saat klien berimprovisasi. Gabrielson dan Juslin (1996) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa efek emosi dapat dipengaruhi oleh tipe instrumen musik atau ekspresif tidaknya seseorang dalam bernyanyi (Djohan, 2005).
Gordon Shaw (1996) dalam newsweek (1996) mengatakan kecakapan dalam bidang yakni matematika, logika, bahasa, musik dan emosi bisa dilatih sejak kanak-kanak melalui musik. Martin Gardiner (1996) dalam Goleman (1995) dari hasil penelitiannya mengatakan seni dan musik dapat membuat para siswa lebih pintar, musik dapat membantu otak berfokus pada hal lain yang dipelajari. Daryono Sutoyo, Guru Besar Biologi UNS Solo, melakukan penelitian (1981) tentang kontribusi musik yaitu menstimulasi otak, mengatakan bahwa pendidikan kesenian penting diajarkan mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) agar peserta didik sejak dini memperoleh stimulasi yang seimbang antara belahan otak kiri dan belahan otak kanannya. Implementasi dari penelitian tersebut, pendidikan kesenian sewaktu di SD mempengaruhi keberhasilan studi pada pendidikan berikutnya.
B. Kerangka Teori






C. Kerangka Konsep























BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah Pendekatan Deskriptif Kualitatif. Pendekatan Kualitatif digunakan untuk memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang kadang kala merupakan sesuatu yang sulit diketahui. Menurut Bogdan dan Taylor, metode Kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu menggambarkan sejumlah variable yang berkenaan dengan sejumlah masalah unit yang diteliti tanpa mempersoalkan hubungan antar variabel (Faisal,Sanapiah, 1992). Pada penelitian deskriptif ini tidak menggunakan dan tidak melakukan pengujian hipotesis.
Metode kualitif deskriptif tidak banyak menggunakan angka-angka sebagai sumber data yang harus dianalisis. Ketika peneliti sudah masuk ke dalam lapangan atau tempat penelitian, maka yang dilakukan adalah mengumpulkan data melalui kata-kata atau kalimat yang diucapkan informan. Dijelaskan oleh Miles dan Huberman (1992) bahwa peneliti lapangan mengumpulkan informasi dalam bentuk catatan-catatan lapangan yang ditulis tangan atau catatan yang diikte di lapangan atau rekaman audio tentang peristiwa dalam latar lapangan.
Permasalahan yanga ada yaitu mengetahui pengaruh pelajaran seni musik dalam pengurangan depresi pada remaja. Hal tersebut akan dijelaskan secara deskriptif dan digambarkan secara objektif. Pendekatan deskriptif kualitatif ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan, yaitu lebih mudah berhadapan dengan kenyataan ganda, menyajikan secara langsung hakikat hubungan penelitian dengan informasi, lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2006).

2. Sasaran Penelitian
Sasaran dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas IX SMP N 20 Purworejo yang menjadi sasaran utama. Sasaran utama ini dipilih mengingat semua siswa-siswi kelas IX sudah mencapai usia remaja dan terjadi peningkatan aktifitas dan pemikiran untuk persiapan Ujian Nasional, sehingga depresi lebih sering dialami daripada siswa-siswi yang berada di kelas bawahnya.

3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di SMP N 20 Purworejo yang beralamat di Jalan Brengkol Km 1, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa-siswi SMP N 20 Purworejo.

2. Sampel
Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Purposive sampling merupakan metode pengambilan sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu berdasarkan tujuan (Singarimbun, 1995). Sama halnya dengan Singarimbun, menurut Sugiyono (2002) purposive sampling merupakan teknik penentuan dengan tujuan tertentu. Pertimbangan-pertimbangan yang akan dijadikan dasar dalam pengambilan sampel pada penelitian ini adalah siswa atau siswi yang pernah mengalami depresi.
Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah siswa-siswi kelas IX SMP N 20 Purworejo yang memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Siswa dan atau siswi pernah mengalami depresi saat menjadi siswa atau siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP).
b. Merasa terjadi pengurangan saat menerima dan atau sesudah menerima pelajaran seni musik.
c. Bersedia menjadi responden.

C. Teknik Pengumpulan Data
1. Variabel penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variable yaitu variable dependen dan independen. Variabel dependen yaitu variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas yang dalam hal ini adalah mempengaruhi kejadian depresi postpartum. Variabel independen yaitu variabel yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel terikat yang dalam hal ini adalah faktor-faktor depresi postpartum. Berikut faktor-faktor pengaruh pelajra seni musik terhadap depresi pada remaja yang menjadi variable independen dalam penelitian ini meliputi:
1. Instrumen musik yang diberikan.
2. Pengalaman musikal remaja.
3. Pembelajaran yang dilakukan dalam pelajaran seni musik.
4. Keseimbangan rasional, emosional, intelektual dan kesadaran estetis remaja.
5. Seni musik membantu kecerdasan emosional dan otak berfokus pada hal lain yang dipelajari.

2. Definisi Operasional
NO VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL SKALA UKUR SKALA DATA
1. Instrumen musik yang diberikan
Jenis instrumen musik yang diberikan oleh pengajar pada siswa Observasi dan wawancara Ordinal
2. Pengalaman musikal remaja
Pengalaman musik remaja Wawancara Ordinal
3. Pembelajaran yang dilakukan dalam pelajaran seni musik Suasana pembelajaran dalam kelas Observasi dan wawancara Ordinal



NO VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL SKALA UKUR SKALA DATA
4. Keseimbangan rasional, emosional, intelektual dan kesadaran estetis remaja Kondisi emosional, kemampuan intelektual dan kemampuan social remaja Melihat data dari pengajar, observasi, wawancara Nominal dan ordinal
5. Seni musik membantu kecerdasan emosional dan otak berfokus pada hal lain yang dipelajari.
Peningkatan kecerdasan emosional dan tingkat kefokusan terhadap hal lain yang dipelajari, sehingga mengurangi depresi Wawancara
Ordinal

Tabel 1. Definisi operasional

3. Jenis Data
1. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh dan diberikan langsung dari sumber pertama yang menjadi sasaran penelitian.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil mengulas catatan-catatan, referensi, ataupun dari dokumentasi.




4. Alat Pengolahan Data
Instrumen sebagai alat pengumpul data yang digunakan adalah hasil wawancara, observasi dan dokumentasi.
5. Pengolahan data
Langkah penelitian dilakukan dengan cara mencatat semua kasus depresi pada remaja yang ada, kemudian dilakukan pemilihan remaja yang memenuhi kriteria. Data tersebut diperiksa dan dianalisis.

D. Analisa Data
1. Metode Analisa Data
Analsis data merupakan suatu proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar (Patton dalam Moleong, 2006). Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik contents analisys. Analisis data kualitatif fokusnya menunjukkan makna, deskripsi, penjernihan dan penempatan data pada konteksnya masing-masing dan serimg kali melukisnya di dalam kata-kata daripada dalam angka-angka (Faisal, Sanapiah, 1992). Menurut Milles dan Huberman (1992) dalam Penelitian Data Kualitatif, analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan dan berjalan terus-menerus yang disebut analisa interaktif. Ketiga komponen tersebut adalah :
a. Reduksi data
Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaa, pengabstraksian dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan. Reduksi data berlangsung secara terus-menerus selama penelitian kualitatif berlangsung.

b. Penyajian data
Merupakan penyajian sekumpulan informasi yang tersusun dan memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Melalui penyajian data ini kita akan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan.

c. Penarikan kesimpulan
Merupakan proses mengartikan segala hal yang ditemui selama penelitian dengan melakukan pencatatan peraturan-peraturan, pola-pola , pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, arahan sebab-akiba tdari proposisi-proposisi, dengan kata lain pada tahap ini merupakan proses untuk menarik kesimpulan terhadap apa yang didapat selama penelitian.

Ketiga model diatas yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, sebagai sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan setelah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar. Dengan demikian analisis data merupakan proses yang berulang dan terus-menerus. Ketiganya dan pengumpulan data merupakan proses siklus dan interaktif.
Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :





Sumber : Milles dan Huberman (1992)

2. Validitas Data
Dalam penelitian ini uji validitas data dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi, yaitu suatu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dari luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai data pembanding terhadap data itu. Denzin (dalam Moleong, 2006). Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber, yaitu dengan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yan berbeda dalam metode kualitatif.
Menurut Patton (Moleong, 2006) hal ini dapat tercapai dengan jalan :
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
b. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain.

Sasaran validasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas IX SMP N 20 Purworejo yang mengalami depresi. Siswa-siswi kelas IX SMP N 20 Purworejo lainnya sebagai informan yang memberikan informasi tentang bagaimana pengaruh pelajaran seni musik terhadap pengurangan depresi pada siswa-siswi kelas IX SMP N 20 Purworejo yang mengalami depresi. Siswa-siswi kelas IX SMP N 20 Purworejo yang mengalami depresi adalah sasaran validasi agar dapat memberikan perbandingan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti sebagai pendukung penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Djohan. 2005. Psikologi Musik. Buku Baik Yogyakarta: Yogyakarta.

Gunara, Sandie. 2009. Pendidikan Musik, Pentingkah?. http://re-searchengines.com/0907sandi.html. Diakses tanggal 25 Juni 2009.

Harjito, Eduardus Suseno. 2009. Memandang Pelajaran Seni Musik. http://www.koranpendidikan.com/artikel/3433/media-menggali-kepekaan-dan-komunikasi.html. Diakses tanggal 25 Juni 2009.

Milles, Mathew B dan A Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia.

Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:PT. Remaja Rosda Karya.

Mukti, Imam Wibawa. 2009. Akselerasi SMP Taruna Bhakti. http://akselerasismptarbak.blogspot.com/. Diakses tanggal 25 Juni 2009.

Pamangsah, Anang. 2009. Musik Merupakan Stimulasi terhadap Keseimbangan Aspek Kognitif dan Kecerdasan Emosi. http://pamangsah.blogspot.com/2008/10/musik-merupakan-stimulasi-terhadap.html. Diakses tanggal 25 Juni 2009.

Tarigan, Ikarowina. 2009. Sehat dengan Terapi Musik. http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2009/05/07/1141/13/Sehat-dengan-Terapi-Musik. Diakses tanggal 25 Juni 2009.

Soetjiningsih. 2007. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Sagung Seto: Jakarta.

Sugiyono, 2002, Statistik untuk Penelitian, Bandung : Alfabeta.

PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA (Perilaku Kesehatan)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang dapat memberikan kenikmatan bagi perokok, namun di lain pihak dapat menimbulkan dampak buruk baik bagi perokok maupun orang-orang di sekitarnya. Pada awalnya kebanyakan orang mengisap tembakau dengan menggunakan pipa. Masyarakat Timur (Eastern societies) menggunakan air untuk mengurangi asap tembakau sebelum diinhalasi. Tembakau yang dikunyah (chewing tobacco) merupakan salah satu konsumsi yang jarang dilakukan. Pada tahun 1840-an barulah dikenal rokok, tetapi belum mempunyai dampak dalam pemasaran tembakau. Mendekati tahun 1881 baru terjadi produksi rokok besar-besaran dengan bantuan mesin. Melalui reklame, rokok menjadi terkenal dan pada tahun 1920sudah tersebar ke seluruh dunia. Pada beberapa dekade sebelum tahun 1960-an muncul bukti-bukti kuat bahwa penggunaan tembakau berhubungan dengan beberapa penyakit.
Bila telah kecanduan, sangatlah susah untuk menghentikan kebiasaan merokok. Angka kejadiannya pada remaja-remaja di Amerika Serikat pada tahun 2000 melebihi 25% dari tahun 1988. Lebih dari 80% perokok mulai pada umur 18 tahun serta diperkirakan sekitar 3000 remaja mulai merokok setiap hari. Angka kejadian merokok pada remaja lebih tinggi di pedesaan daripada perkotaan. Variasi etnis dan budaya dalam hal merokok mencerminkan interaksi yang majemuk antara pendapatan, harga rokok, ketersediaan rokok, budaya, stress, keturunan, umur, jenis kelamin, dan reklame rokok. Sebuah penelitian di Amerika Serikat mendapatkan bahwa pada semua etnis kecuali orang Amerika keturunan Afrika, angka kejadian merokok pada remaja lebih tinggi dari pada angka kejadian merokok pada dewasa. Remaja wanita perokok jumlahnya lebih kecil daripada remaja laki-laki perokok kecuali pada etnis kulit putih (Soetjiningsih, 2007).
Di Indonesia banyak pemandangan remaja merokok baik di tempat umum dan di rumahnya sering kali terlihat. dari hasil suatu penelitian, sekitar 15% remaja Indonesia telah merokok (Soekidjo, 2007). Sebuah studi kohort prospektif yang dilakukan di sekolah pada 276 perokok dengan umur 12 sampai 18 tahun, angka kejadian penghentian merokok adalah 46% pada perokok jarang, 12% pada perokok 1-9 batang perhari (Soetjiningsih, 2007). Perilaku yang mereka lakukan tidak sesuai dengan perilaku kesehatan yang seharusnya dilakukan. Padahal tidak sedikit dari mereka mengetahui dampak buruk dari merokok. Namun, bagi mereka hal tersebut merupakan sebuah kebiasaan yang mengenakkan bagi mereka, sehingga mereka sulit untuk mengubah perilaku mereka.
Di Desa Pituruh, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah juga banyak terdapat remaja mualai dari yang masih menginjak bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMA (Sekolah Menengah Atas) maupun yang sudah lulus SMA. Hal tersebut merupakan fenomena yang perlu diperhatikan dan dikendalikan karena hal tersebut bisa merusak generasi muda.. Perlu dilakukan analisa faktor apa yang menjadikan remaja di Desa Pituruh berperilaku merokok serta hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk mengubah perilaku tersebut. Karena apabila perilaku tersebut tidak diubah, akan akibatnya akan lebih fatal lagi. Karena nikotin (zat yang terkandung di dalam rokok) umumnya merupakan zat pertama yang digunakan oleh kaum muda yang masuk ke dalam rangkaian pengguanaan zat seperti tembakau, alcohol, marijuana, dan penyalahgunaan obat lainnya. Mereka yang menggunakan nikotin 15 kali lebih mungkin menggunakan obat lainnya daripada yang tidak merokok (Soetjiningsih, 2007).

B. Tujuan
1. Mengetahui hubungan perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh, Kabupaten Purworejo dengan perilaku kesehatan.
2. Mengetahui hubungan perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh, Kabupaten Purworejo dengan teori Lawrence Green, Snejandu B. Kar, dan WHO.
3. Mengetahui pengendalian yang dilakukan untuk merubah perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh, Kabupaten Purworejo.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku
Dari segi biologis, padalah suatu suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang sangat mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Sehingga perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati secara langsung dari luar.
Skiner (1938) seorang ahli psikologi, mermuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus trhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus Organisme Respons. Skiner membedakan adanya dua respons
1. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relative tatap. Misalnya: makanan yangsehat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya yang terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respons ini juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraanya dengan mengadakan pesta, dan sebagainya.
2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimuaition atau reinforcer, karena memperkuat respons. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan nelaksanakan tugasnya dengan baik (respons terhadap uraian tugasnya atau job skripsi) kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik dari lagi dalam melaksanakan tugasnya.

Diliat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Perilaku tertutup (covert behaviour)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terelubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati dengan jelas oleh orang lain. Oleh sebab itu, disebut covert behaviour atau unobservable behaviour, misalnya: seorang ibu hamil tahu pentingnya perisa kehamilan, seorang pemuda tahu bahwa HIV/AIDS dapat menular melalui hubungan seks, dan sebagainya.
2. Perilau terbuka (overt behaviour)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata dan terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu disebut overt behaviour, tindakan nyata atau praktik (practice) missal, seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa anaknya ke Puskesmas untuk diimunisasi, penderita TB paru minum obat secara teratur, dan sebagainya.

Seperti yang telah disebutkan di atas, sebagian besar perilaku manusia adalah operant response. Oleh sebab itu, untuk membentuk jenis respons atau perilaku perlu diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning ini menurut Skiner adalah sebagai berikut:
a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.
b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud
c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut.
d. Melakuakn pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka hadiah diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk maka dilakukan komponen (perilaku) yang kedua yang kemudian diberi hadiah (komponen pertama tidak perlu diberi hadiah lagi). Demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, an selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk (Soekidjo, 2007).

B. Perilaku Kesehatan
Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklarifisikan menjadi 3 kelompok:
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance)
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh karena itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek yaitu:
a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilaman telah sembuh dari penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
c. Perilaku gizi (makanan dan minuman). Makan dan minuman dapat memelihara serta meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atu fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour)
Perilaku ini adalah menyangkut upaya dan tindakan seseorang saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan dan perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.
3. Perilaku kesehatan lingkungan
Perilaku ini adalah tentang bagaiman seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Denga perkataan lain, bagaimana seseorang menglola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya. Misalnya bagaiman mengelola pembuangan tinja, air minum, dan sebaginya.

Seorang ahli lain (Becker,1979) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan ini, yaitu:
a. Perilaku hidup sehat
Adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk memperahankan dan meningkatkan kesehatannya. Perilaku ini mencakup antara lain:
1) Makan dengan menu seimbang (appropriate diet).
2) Olahraga teratur, juga mencakup kualitas (gerakan), dan kuantitas dalam arti frekuensi dan waktu yang digunakan untuk olahraga.
3) Tidak merokok. Merokok adalah kebiasaan buruk yang mengkibatkan berbagai macam penyakit. Ironisnya kebiasaan merokok ini, khususnya di Indonesia , seolah-olah sudah membudaya. Hampir 50% penduduk Indonesia usia dewasa merokok. Bahkan dari hasil suatu penelitian, sekitar 15% remaja Indonesia telah merokok.
4) Tidak minum minuman keras dan narkoba. Kebiasaan minum miras dan mengkonsumsi narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya lainya) juga cenderung meningkat. Sekitar 1% penduduk Indonesia dewasa diperkirakan sudah mempunyai kebiasaan minum miras.
b. Perilaku sakit (illness behaviour)
Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sait, pengetahuannya tentang penyebab dan geja sakit, pengoatan penyakit, dan sebagainya.
c. Perilaku peran sakit (the sick role behaviour)
Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran yang mencakup hak-hak orang sakit (obligation). Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick role). Perilaku ini meliputi:
1) tindakan untuk memperoleh kesembuhan,
2) mengenalmengetahui fasilitas atau saran pelayanan/penyembuhan penyakit yang layak,
3) mengetahui hak, (misalnya: hak meperoleh perawatan, memperoleh pelayanan kesehatan, dan sebagainya) dan kewajiban orang sakit (memberitahu penyekitnya kepada orang lain terutama kepada dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain,dan sebagainya).



C. Domain Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau ransangan dri luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat mosional, jenis kelamin, dan sebaginya.
2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosil,budaya, konomi, politik, dan sebagainya. Faktor linkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam3 (tiga) domain, ranah atau kawasan yakni: kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni:
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).
a. Proses Adopsi Perilaku
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurtan, yaitu:
1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu,
2. Interest, yakni orang yang mulai tertarik kepada stimulus,
3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru,
5. Adaption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian , dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Apabila penerimaan perilau baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak berlangsung lama.

b. Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagi mengingat suatu materi yang telah dibelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifikdi seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
2. Memahami (comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.


3. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyususn formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untukmelakukan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek yang disdasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau dengan kriteria yang telah ada.

2. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Newcomb salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakn suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakankesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagi suatu penghayatan terhadap objek.
a. Komponen Pokok Sikap
Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yaitu:
1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikapyang utuh ini, penegtahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

b. Berbagai Tingkatan Sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan:
1. Menerima (receiving)
2. Merespon (responding)
3. Menghargai (valuing)
4. Bertanggung jawab (responsible)

3. Praktik atau tindakan (practice)
Suatu sikap yang belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan suatu sikapmenjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yag memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor ukungan (support) dari pihak lain, misalnya dari orang terdekat. Prektik ini mempunyai beberapa tingkatan:
1. Persepsi (perseption), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
2. Respons terpimpin (guided response), yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.
3. Mekanisme (mecanism), melakukan sesuatu secara benar dan otomatis sehingga menjadi suatu kebiasaan.
4. Adopsi (adoption), yaitu suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

D. Perilaku Merokok
Merokok adalah sebuah praktek dimana substansi, paling sering tembakau, dibakar dan asap merasai atau inhaled. Hal ini terutama dipraktikkan sebagai rute administrasi untuk rekreasi menggunakan narkoba, karena pembakaran yang rilis zat aktif dalam obat seperti nikotin dan menjadikannya tersedia untuk penyerapan melalui paru-paru. Hal ini dapat juga dilakukan sebagai bagian dari ritual, teknologi trances rohani dan pencerahan. Metode yang paling umum dari merokok hari ini adalah melalui rokok, terutama industrialisasi diproduksi tetapi juga dari tangan-terguling longgar dan tembakau rolling kertas. Merokok alat-alat lainnya termasuk pipa, cerutu, hookahs dan bongs.
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lain. Rokok biasanya dijual dalam bungkusan berbentuk kotak atau kemasan kertas yang dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam kantong. Sejak beberapa tahun terakhir, bungkusan-bungkusan tersebut juga umumnya disertai pesan kesehatan yang memperingatkan perokok akan bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan dari merokok, misalnya kanker paru-paru atau serangan jantung(walapun pada kenyataanya itu hanya tinggal hiasan, jarang sekali dipatuhi).
Merokok merupakan salah satu yang paling umum bentuk rekreasi menggunakan narkoba. Tembakau merokok jauh hari ini adalah yang paling populer bentuk merokok dan dilakukan oleh lebih dari satu miliar orang di sebagian besar masyarakat semua manusia. Kurang umum termasuk obat untuk merokok cannabis dan candu. Kebanyakan obat yang diasapi dianggap addictive. Beberapa bahan yang diklasifikasikan sebagai keras narkose, seperti heroin dan kokain retak, namun penggunaan ini sangat terbatas karena mereka sering tidak tersedia komersial.
Sejarah merokok dapat tanggal ke seawal 5000 SM, dan telah tercatat dalam berbagai budaya di seluruh dunia. Awal merokok berkembang berkaitan dengan upacara keagamaan; sebagai persembahan untuk dewa-dewa, dalam pembersihan ritual atau untuk membolehkan Shaman dan imam untuk merubah pikiran mereka untuk tujuan peramalan atau pencerahan rohani. Setelah Eropa eksplorasi dan penaklukan dari Amerika, praktik merokok tembakau dengan cepat menyebar ke bagian dunia. Di daerah-daerah seperti India dan Afrika Subsaharan, ia bergabung dengan yang ada praktek merokok (kebanyakan dari cannabis). Di Eropa, ia baru diperkenalkan jenis kegiatan sosial dan bentuk obat asupan yang sebelumnya telah diketahui.
Persepsi sekitarnya merokok telah bervariasi dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain; suci dan berdosa, canggih dan vulgar, sebuah obat mujarab dan kesehatan bahaya maut. Hanya baru-baru ini, dan terutama di negara-negara industri Barat, telah datang untuk merokok dapat dilihat dalam cahaya yang jelas negatif. Today medis penelitian telah membuktikan bahwa merokok tembakau adalah salah satu yang menyebabkan banyak penyakit seperti kanker paru-paru, serangan jantung dan juga dapat mengakibatkan cacat lahir. Sumur-membuktikan kesehatan bahaya merokok yang telah menyebabkan banyak lembaga tinggi negara untuk pajak untuk produk tembakau dan kampanye anti merokok yang diluncurkan setiap tahun dalam upaya untuk mengekang merokok tembakau.
Risiko penyakit yang berhubungan langsung dengan sistem cardiovascular oleh vector yang merokok, yang selama ini memungkinkan tingginya jumlah carcinogens deposit ke dalam mulut, tenggorokan, dan paru-paru. Tembakau yang berhubungan dengan penyakit ini adalah pembunuh terbesar di dunia saat ini dan disebut sebagai salah satu penyebab kematian prematur di negara-negara industri. Di Amerika Serikat beberapa kematian 500.000 per tahun karena merokok dan penelitian terakhir diperkirakan sebanyak 1/3 dari penduduk laki-laki di China akan memiliki hidup cukup singkat akibat merokok (Wikipedia, 2009).

E. Merokok pada Pemaja
Merokok merupakan subuah kebiasaan yang dapat memberikan keninkmatan bagi si perokok, namun di lain pihak dapat menimbulkan dampak buruk baik bagi si perokok maupun orang-orang di sekitarnya. Beberapa remaja ada dalam proses perkembangan kecanduan tembakau selam beberapa tahun atau dekade. Pada remaja, pola merokok juga lebuh bervariasi dalam jumlah maupun frekuensinya dibanding dewasa. Kaum muda tidak merasa kebutuhan menurun kan mata rantai yang membahayakan terhadap paparan tembakau, juga pada dewasa segera merasakan adanya efek menguntungkan semu dari merokok jangka panjang yang mengancam kesehatan. Beberapa remaja, kecanduan nikotinnya ada dalam tahap bulan madu (honeymoon phase). Keberhasilan pengobatan tergantung pada penyesuaian secara individu dan cara yang tepat yang dapat meningkatkan motivasi.

Faktor-Faktor Resiko Bagi Remaja Untuk Merokok
Seperti penggunaan zat-zat (substances) lainnya, terdapat beberapa faktor risiko bagi remaja sehingga mereka menjadi perokok. Faktor-faktor remaja tersebut antara lain faktor psikologik, faktor biologik, dan faktor lingkungan serta regulasi atau peraturan penjualan rokok.
1. Faktor psikologik
a. Faktor perkembangan social
Aspek perkembangan pada remaja antara lain:
1. menetapkan kebebasan dan otonomi,
2. membentuk identitas diri,
3. penyesuaian perubahan psikososial berhubungan dengan maturasi fisik.

Merokok dapat menjadi sebuah cara bagi remaja agar mereka tampak bebas dan dewasa saat mereka menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya yang merokok. Istirahat/santai dan kesenangan, tekanan-tekanan teman sebaya, penampilan diri, sifat ingi tahu, stres, kebosanan, ingin kelihatan gagah, dan sifat suka menentang, merupakan hal-hal yang mengkontribusi mulainya merokok. Sedangkan faktor risiko lainnya adalah rasa rendah diri, hubungan antar perorangan yang jelek, kurang mengatasi stres, putus sekolah, social ekonomi yang rendah, serta tahun-tahun transisi antara sekolah dasar dan sekolah menengah (usia 11-16 tahun). Merokok pada remaja sering dihubungkan dengan nilai di sekolah yang jelek, aspirasi yang rendah, penggunaan alkohol serta penggunaan obat-obat lainnya, absen sekolah, kemungkinan putus sekolah, rendah diri, suka melawan, dan pengetahuan tentang bahayamerokok yang rendah.

b. Faktor psikiatrik
Studi epidemiologi pada dewasa mendapatkan asosiasi antara merokok dengan gangguan psikiatrik seperti skizofrenia, depresi, cemas, dan penyalahgunaan zat-zat tertentu. Pada remaja didapatkan asosiasi antara merokok dengan dengan depresi dan cemas. Gejala depresi lebih sering pada remaja perokok daripada perokok. Merokok berhubungan dengan meningkatnya kejadian depresi mayor dan penyalahgunaan zat-zat tertentu. Remaja yang memperlihatkan gejala depresi dan cemas mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk memulai merokok daripada remaja yang asimptomatik. Remaja dengan gangguan cemas bisa menggunakan rokok untuk menghilangkan kecemasan yang mereka alami.
Sebuah studi mendapatkan bahwa anak dengan ADHD dua kali lebih mungkin mengkonsumsi zat/obat dini (termasuk tembakau) dibanding anak tanpa ADHD atau secara eksplisit tidak memisahkan penggunaan nikotin dengan alkohol atau marijuana. Studi lain melaporkan bahwa bila ADHD bersamaan dengan depresi mayor dapat menjadi prediktor kecanduan nikotin yang berat. Sampai saat ini masih terjadi perdebatan tentang hubungan antara merokok dengan penyakit dopamin oleh nikotin atau inhibisi monoamin oksidase A dan B oleh campuran non-nikotin pada tembakau, dapat meniru kerja stimulan yang merupakan obat pilihan pada ADHD. Kenyataannya bahwa efek nikotin yang dikeluarkan melalui tempelan transdermal (transdermal patches) sebanding dengan metilfenidat untuk menghilangkan gejala ADHD. Gejala psikiatrik dapat muncul selama gejala putus nikotin (nicotine withdrawal) seperti cemas, depresi, bingung, dapat menjelaskan sukarnya melepaskan diri dari populasi psikiatrik. Masih diperdebatkan apakah pengobatan farmakologik seperti pengobatan stimulan pada ADHD dapat meningkatkan kepekaan terhadap penggunaan zat-zat tertentu berikutnya termasuk tembakau.

2. Faktor biologik
a. Faktor kognitif
Faktor lain yang mungkin mengkontribusikan perkembangan kecanduan nikotin adalah merasakan adanya efek bermanfaat dari nikotin. Sebagai contoh, beberapa dewasa perokok melaporkan bahwa merokok memperbaiki konsentrasi. Telah dibuktikan bahwa deprivasi nikotin mengganggu perhatian dan kemampuan kognitif, tetapi hal ini kan berkurang bila mereka diberi nikotin atau rokok. Studi-studi yang dilakukan dengan dewasa perokok dan bukan perokok memperlihatkan bahwa nikotin dapat meningkatkan finger-tapping rate, respon motorik dalam tes fokus perhatian, perhatian terus-menerus dan pengenalan memori. Pada remaja efek nikotin dalam meningkatkan penampilan tidak diketahui, dengan demikian tidak jelas apakah nikotin memegang peranan penting dalam memulai atau mempertahankan merokok pada remaja.
b. Faktor jenis kelamin
Patut diperhatikan bahwa belakangan ini kejadian merokok meningkat pada remaja wanita. Wanita perokok dilaporkan menjadi percaya diri, suka menentang dan secara sosial cakap, keadaan ini berbeda dengan laki-laki perokok yang secara sosial tidak aman.

c. Faktor etnik
Di Amerika Serikat, angka kejadian merokok tertinggi pada orang-orang kulit putih dan penduduk asli Amerika, serta terendah pada orang-orang Amerika keturunan Afrika dan Asia. Laporan tersebut memberi kesan bahwa perbedaan asupan nikotin dan tembakau serta waktu paruh kotinin antara perokok dewasa Amerika keturunan Afrika dengan orang kulit putih adalah substansial. Ini sebagian dapat menjelaskan mengapa ada perbedaan risiko pada menjelaskan mengapa ada perbedaan risiko pada beberapa etnik dalam hal penyakit yang berhubungan dengan merokok.

d. Faktor genetik
Variasi genetik mempengaruhi fungsi reseptor dopamin dan enzim hati yang memetabolisme nikotin. Konsekuensinya adalalah meningkatnya risiko kecanduan nikotin pada beberapa individu. Variasi efek nikotin dapat diperantarai oleh polimorfisme gen reseptor dopamin yang mengakibatkan lebih besar atau lebih kecilnya ganjaran (reward) dan mudah kecanduan obat. Pada studi genetik molekuler akhir-akhir ini, individu gengan alela TaqIA (A1 dan A2) dan TaqIB (B1 dan B2) dari gen reseptor dopamin D2 lebih mungkin merokok 100 kali atau lebih dalam hidupnya dan mereka lebih awal memulai merokok serta lebih sedikit usaha untuk meninggalkannya. Individu yang tidak ada/kurang fungsi CYP2A6, yang secara genetik merupakan variasi enzim dari sitokrom P450, secara bermakna memproteksi diri dari kecanduan tembakau karena menggangu metabolisme nikotin. Kecanduan nikotin melibatkan faktor lingkungan dan genetik yang multipel. Faktor genetik dapat menjelaskan banyaknya variasi penggunaan tembakau pada remaja, serta tampak mempengaruhi tembakau pada remaja, serta tampak mempengaruhi reaksi farmakologik terhadap nikotin, beberapa darinya tampak berkaitan dengan gen yang mempengaruhi ekspresi alkoholisme.

3. Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan tembakau antara lain orang tua, saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok, terpapar reklame tembakau, artis pada rekame tembakau di media. Orang tua memegang peranan terpenting. Dari remaja yang merokok, didapatkan 75% salah satu atau kedua orang tuanya merokok. Sebuah studi Kohort pada anak-anak SMA mendapatkan bahwa perdiktor yang bermakna dalam peralihan dari kadang-kadang merokok menjadi merokok secara teratur adalah orang tua merokok dan konflik keluarga.
Reklame tembakau diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih kuat daripada pengaruh yang lebih kuat daripada pengaruh orang tua atau teman sebaya, mungkin karena mempengauhi persepsi remaja terhadap penampilan dan manfaat merokok. Memulai menggunakan tembakau lebih erat hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan, sedangkan peningkatan dari merokok pertama ke kecanduan rokok tampaknya dipengaruhi oleh faktor personal dan farmakologik.

4. Faktor regulatori
Peningkatan harga jual atau diberlakukan cukai yang tinggi, akan menurunkan pembelian dan konsumsi. Pembatasan fasilitas untuk merokok, dengan menetapkan ruang/daerah bebas rokok, diharapakn mengurangi konsumsi. Tetapi kenyataannya terdapat peningkatan kejadian memulai merokok pada remaja, walaupun telah dibuat usaha-usaha untuk mencegahnya.


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil dari observasi yang dilakukan pada remaja di Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo adalah sebagai berikut:
1. Remaja Desa Pituruh yang merokok adalah remaja awal/dini yaitu umur 11-13 tahun, remaja pertengahan, yaitu umur 14-16 tahun, dan remaja lanjut, yaitu 17-20 tahun (Soetjingsih, 2007). Mereka adalah laki-laki.
2. Sebagian besar dari mereka perilaku merokok tersebut berawal dari ingin mencoba saja karena pengaruh teman bermain.
3. Sebagian besar dari mereka, orang tuanya juga perokok.
4. Orang tua mereka awalnya melarang perilaku mereka saat mereka pada usia remaja dini, namun lambat laun perilaku tersebut dibiarkan saja oleh orang tua mereka.
5. Tidak ada petugas kesehatan di Kecamatan Pituruh yang melakukan upaya pencegahan dan pengendalian terhadap perilaku merokok pada remaja. Pelayanan yang diberikan dan dipromosikan lebih pada balita, ibu hamil, dan orang sakit.
6. Pihak sekolah tempat mereka belajar yang mengetahui mereka merokok, tidak memberikan arahan dan menegur agar tidak merokok lagi. Kalaupun ada yang menegur hanya memberikan skors saja, tanpa melakukan monitoring terhadap remaja perokok tersebut samapi tidak megulangi perilaku merokok.
7. Tidak sedikit dari mereka yang tidak mengetahui dampak buruk dari merokok, sehingga perilaku merokoknya lebih parah. Berawal dari satu hari 2 batang menjadi 5 batang perhari, dan seterusnya serta lambat laun memilih merk rokok yang lebih enak dimana kandungan zat berbahayanya semakin besar.
8. Sebagian yang lain mengetahui dampak buruk dari merokok. Namun mereka tetap melakukan perilaku tersebut karena bagi mereka merokok adalah suatu kenikmatan. Lagi pula mereka belum merasakan dampak buruknya, sehingga mereka tetap mempertahankan bahkan meningkatkan perilaku tersebut.

B. Pembahasan
Perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo dapat dilihat dari berbagai teori perilaku. Dari teori-teori yang ada dapat dikaitkan dan diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh berdasarkan hasil pengamatan/observasi. Dengan teori-teori yang ada dapat juga dilakukan pengendalian untuk merubah perilaku merokok pada remaja.
a. Perilaku merokok remaja Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh dipandang dari perilaku kesehatan
Berdasarkan klasifikasi perilaku kesehatan yang terdiri dari perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance), perilaku pencarian dan penggunaan sistem atu fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour), dan perilaku kesehatan lingkungan (Soekidjo, 2007) maka perilaku merokok bukan merupakan perilaku kesehatan seperti yang diharapkan. Dalam hal ini health maintanance atau perilaku pemeliharaan kesehtan tidak dilakukan oleh remaja di desa Pituruh. Mereka tidak mencegah penyakit, meningkatkan kesehatan dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi, sebaliknya mereka justru mengundang penyakit dari bahan-bahan berbahaya yang terkandung dalam rokok dan menurunkan kesehatan mereka dengan merokok.
Dilihat dari health seeking behaviour, remaja tersebut juga tidak melakukannya. Seharusnya mereka mencari pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kesehatan mereka dan mencegah terjadinya penyakit. Namun mereka tetap melakukan perilaku merokok karena merasa mereka masih sehat dan belum mengalami dampak buruk akibat rokok yang dihisapnya.
Sedangkan menurut perilaku kesehatan dalam kelompok perilaku kesehatan lingkungan, merekapun juga tidak mencerminkan perilaku kesehatan lingkungan. Hal ini terjadi karena respons mereka terhadap lingkungan perokok adalah meniru adanya perilaku tersebut, bukan membuat pertahanan agar tidak berpengaruh buruk terhadap kesehatan mereka.
Perilaku remaja Desa Pituruh yang tidak menunjukkan perilaku kesehatan tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut antara lain faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal meliputi tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. Faktor eksternal meliputi lingkungan, baik lingkungan fisik, sosiobudaya, konomi, politik, dan sebagainya (Soekidjo, 2007).
Faktor eksternal yang berupa tingkat kecerdasan di sini adalah pengambilan sikap/keputusan yang tidak sesuai dengan pengetahuan yang ada. Rokok mengandung bahan-bahan berbahaya yang akan merusak tubuh hingga mematikan jika dikonsumsi. Seharusnya tidak dikonsumsi. Faktor lain seperti emosional berhubungan dengan kondisi psikologis yang tidak baik, seperti depresi dan cemas. Depresi dan cemas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan remaja menjadi perokok. Padahal merokok justru akan meningkatkan depresi dan kecemasan seseorang (Soetjiningsih, 2007).
Faktor jenis kelamin pada remaja di desa Pituruh yang kesemuanya dalam observasi berjenis kelamin laki-laki, berhubungan dengan tingkat percaya diri dan agar terlihat maskulin. Sedangkan faktor eksternal yang berupa lingkungan, berhungan dengan lingkungan keluarga (orang tua), sekolah, teman bermain sampai petugas kesehatan tidak mengarahkan, menegur hingga memonitoring remaja tersebut sampai tidak merokok.
Berdasarkan pengembangan teori Bloom yang meliputi pengetahuan, sikap dan praktik atau tindakan (Soekidjo, 2007), remaja di Desa Pituruh tersebut masih dalam taraf tahu (know). Dalam hal ini remaja tahu akan bahaya rokok, itupun sebagian kecil dari mereka. Meraka yang tahu, tidak dilanjutkan pada tingkat pengetahuan lainnya yaitu memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi, sehingga tidak timbul sikap dan tindakan untuk berperilaku hidup sehat sesuai dengan perilaku sehat dengan tidak merokok.

b. Determinan perilaku
Perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebaginya. Gejala kejiwaan tersebut ditentukan atau dipengaruhi oleh berbagi factor lain, diantaranya adalah factor pengalaman, keyakinan, sarana fisik sosiobudaya masyarakat, dan sebaginya sehingga proses terbentuknya perilaku ini dapat didilustrasikan sebagai berikut:

Di samping asumsi-asumsi tersebut, ada beberapa asumsi lain, antara lain asumsi yang mendasarkan kepada teori kepribadian dari Spranger. Spranger membagi kepribadian manusia menjadi 6 macam nilai kebudayaan. Kepribadian seseorang ditentukan oleh salah satu nilai budaya yang dominan pada diri orang tersebut. Selanjutnya, kepribadian tersebut akan menentukan pola dasar perilaku manusia yang bersangkutan.
Pada perilaku merokok remaja di Desa Pituruh, pengalaman dari teman bermain yang merokok, keyakinan tidak terjadi dampak buruk dengan merokok, fasilitas berupa uang untuk bisa membeli rokok dan lingkungan sosial budaya yang kurang ketat untuk melarang berperilaku merokok menyebabkan timabulnya pengetahuan, persepsi dan sikap yang salah tentang perilaku merokok, adanya keinginan, kehendak, motivasi baik dari luar maupun dari diri sendiri serta niat untuk merokok, sehingga terjadi perilaku merokok tersebut pada diri remaja. Seperti yang disampaikan oleh Soetjiningsih (2007) bahwa perilaku merokok pada tersebut awalnya dipengaruhi oleh lingkungan, namun peningkatan dari merokok pertama sampai kecanduan rokok dipengaruhi oleh faktor personal dan farmakologik. Hal ini sesuai denagn yang disampaikan oleh Spranger bahwa kepribadian menentukan pola dasar perilaku manusia yang bersangutan (Soekidjo, 2007).
Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkap determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green (1980), Snehandu B. Kar (1983), dan WHO (1984).

1. Teori Lawrence Green
Green mencoba menganalisis perilaku menusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor:
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebaginya.
c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku kesehatan.


Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:


Di mana:
B = Behaviour RF = Reinforcing factors
PF = Predisposing factors f = fungsi
EF = Enabling factors

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku (Soekidjo, 2007).
Pada remaja di Desa Pituruh, pengetahuan yang mereka tahu tentang rokok kurang, sehingga pengetahuan tersebut justru menjadi pengetahuan yang salah. Sikap yang ditunjukkan oleh remaja-remaja tersebut juga salah. Kepercayaan yang ada justru mengarah kepada keadaan yang baik-baik saja dalam hal ini sehat walaupun merokok. Tidak ada tradisi larangan merokok, karena bagi mereka itu kebebasan setiap orang untuk menerima kenikmatan dari merokok. Fasilitas kesehatan berupa pelayanan kesehatan bagi remaja tidak terlihat di Puskesmas Pituruh. Seharusnya terdapat pelayanan kesehatan baik di Puskesmas maupun di luar (seperti penyuluhan) untuk memberikan informasi tentang bahaya rokok, sehingga bisa mencegah dan mengendalikan perilaku merokok pada remaja. Tidak adanya layanan kesehatan tersebut, serta sikap petugas kesehatan yang tidak memperhatikan fenomena merok pada remaja di Desa Pituruh. Sehingga berdasarkan teori Lawrence Green hal-hal tersebut memperkuat terbentuknya perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh.

2. Teori Snehandu B. Kar
Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari:
a. niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behaviour intention)
b. dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social-support)
c. ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessebility of information)
d. otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau keputusan (personal autonomy)
e. situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation)

Uraian di atas dapat dirumuskan sebagai berikut:



Di mana:
B = Behaviour AI = Accessebility of Information
f = fungsi PA = Personal Autonomy
BI = Behaviour Intention AS = Action Situation
SS = Social Support

Disimpulkan bahwa perilaku kesehatn seseorang atau masyarakat ditentukan oleh niat orang terhadap objek kesehatan, ada atau tidaknya dukungan dari masyarakat sekitarnya, ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan, kebebasan dari individu untuk mengambil keputusan/bertindak, dan situasi yang memungkinkan ia berperilaku/bertindak atau tidak berperilaku/tidak bertindak (Soekidjo, 2007).
Hampir sama dengan teori sebelumnya, pada remaja di Desa Pituruh, niat tersebut justru bukan untuk meningkatkan kesehatannya namun justru menurunkan kesehatannya dengan merokok. Selain itu ada kebebasan untuk mengambil keputusan merokok, situasi yang memungkinkan untuk merokok., lingkungan yang mendukung untuk merokok serta tidak adanya informasi tentang bahaya rokok bagi kesehatan. Hal-hal tersebut berdasarkan teori Snehandu B. Kar memperkuat terbentuknya perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh.

3. Teori WHO
Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 alasan pokok. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayan-kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan).
Secara sederhana teori WHO dapat diilustrasikan sebagai berikut:


Di mana:
B = Behaviour PR = Personal Reference
F = fungsi R = Resources
TF = Toughts and feeling C = Culture

Dari teori WHO dapat disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh pemikiran dan perasaan seseorang, adanya orang lain yang dijadikan referensi dan sumber-sumber atau fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung perilaku dan kebudayaan masyarakat (Soekidjo, 2007). Pada remaja di Desa Pituruh, pemikiran dan perasaan mereka tidak benar. Mereka cenderung menilai tidak nampak gangguan kesehatn akibat rokok. Perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh menurut teori WHO diperkuat oleh tidak adanya sumber-sumber, fasilitas dan budaya yang mengarahkan mereka untuk tidak melakukan perilaku merokok.

c. Perubahan perilaku
Perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh bukan berarti tidak bisa dikendalikan. Pengendalian perilaku tersebut bisa dilakukan dengan perubahan perilaku. Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbanagan bahwa menurut Soekidjo (2007), hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan dari pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang progam-program kesehatan lainnya. Teori tentang perubahan perilaku antara lain:
1. Teori Stimulus Organisme (SOR)
2. Teori Festinger (Dissonance Theory)
3. Teori Fungsi
4. Teori Kurt Lewin.

Teori perubahan perilaku yang digunakan dalam upaya pengendalian perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh, berdasarkan faktor-faktor penyebab perilaku tersebut yang telah di bahas, adalah teori Kurt Lewin. Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restining forces). Pada teori Kurt Lewin menekankan bahwa dalam melakukan perubahan perilaku adalah dengan melakukan ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut di dalam diri seseorang sehingga ada tiga kemingkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang yaitu:
a. Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat
Hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan perilaku. Stimulus ini berupa penyuluhan-penyuluhan atau informasi-informasi sehubungan dengan perilaku yang bersangkutan. Pada kasus perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh, stimulus yang diberikan berupa pemberian informasi atau penyuluhan tentang bahaya rokok dan pentingnya menghindari perilaku merokok oleh petugas kesehatan di Kecamatan Pituruh di bawah naungan Puskesmas Pituruh. Dengan pemberian informasi atau penyuluhan tersebut, remaja menjadi yakin akan bahaya merokok, sehingga hal tersebut mendorong remaja sedikit demi sedikit tidak melakukan perilaku merokok lagi.

b. Kekuatan-kekuatan penahan menurun
Hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. Pada kasus perilaku merokok pada remaja di desa Pituruh, hal yang dilakukan di sini adalah pemberian pengertian bahwa merokok tidak mengganggu kesehatan adalah salah. Kemudian memberikan informasi yang benar tentang rokok. Maka kekuatan penahan tersebut akan melamah, sehingga remaja-remaja tersebut sedikit demi sedikit tidak merokok lagi. Terjadilah perubahan perilaku dari yang merokok menjadi tidak merokok pada remaja-remaja tersebut.

c. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun
Dengan keadaan semacam ini jelas akan terjadi perubahan perilaku. Seperti hal-hal tersebut di atas, pada kasus perilaku merokok pada remaja di desa Pituruh, penyuluhan yang memberikan informasi tentang bahaya rokok , pentingnya menghindari perilaku merokok dan tidak benarnya kepercayaan bahwa merokok tidak mengganggu kesehatan, akan meningkatkan kekuatan pendorong dan menurunkan kekuatan penahan.

BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Perilaku merokok remaja di Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo tidak sesuai dengan perilaku kesehatan.
2. Berdasarkan Teori Lawrence Green, pengetahuan, sikap, kepercayaan, dan tradisi yang ada, serta ketidaktersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan yang tidak memperhatikan perilaku merokok memperkuat perilaku merokok pada remaja tersebut. Berdasarkan teori Snehandu B. Kar, niat remaja untuk merokok, tidak adanya larangan dari masyarakat sekitarnya, tidak adanya informasi tentang kesehatan, kebebasan dari individu untuk mengambil keputusan/bertindak, dan situasi yang memungkinkan ia berperilaku/bertindak memperkuat perilaku merokok pada remaja tersebut. Berdasarkan teori WHO, pemikiran dan perasaan remaja yang salah tentang rokok, tidak adanya orang lain yang dijadikan referensi dan sumber-sumber atau fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung perilaku dan kebudayaan masyarakat yang salah memperkuat perilaku merokok pada remaja.
3. Pengendalian yang dilakuakan adalah dengan perubahan perilaku pada remaja di Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo berdasarkan teori Kurt Lewin.

B. SARAN
1. Remaja perokok di Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo seharusnya mencari tahu tentang bahaya rokok bagi kesehatan.
2. Orang tua serta pihak sekolah seharusnya mengarahkan remaja di Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo untuk tidak merokok.
3. Petugas kesehatan Puskesmas Pituruh seharusnya melakukan upaya pencegahan dan pengendalian terhadap perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo.

DAFTAR PUTAKA
Anonim. 2009. Rokok. http://id.wikipedia.org/wiki/Rokok. Diakses tanggal 25 Juni 2009.

--------, 2009. Merokok. http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Smoking&prev=/translate_s%3Fhl%3Did%26q%3DMEROKOK,%2BWIKIPEDIA%26tq%3DSmoking,%2BWikipedia%26sl%3Did%26tl%3Den. Diakses tanggal 25 Juni 2009.

Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta: Jakarta.

Soetjiningsih. 2007. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Sagung Seto: Jakarta.