WELCOME TO MY BLOG

Semua ini adalah proses belajar...
Penuh kekurangan...
Semoga bermanfaat...

Rabu, 06 Januari 2010

PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA (Perilaku Kesehatan)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang dapat memberikan kenikmatan bagi perokok, namun di lain pihak dapat menimbulkan dampak buruk baik bagi perokok maupun orang-orang di sekitarnya. Pada awalnya kebanyakan orang mengisap tembakau dengan menggunakan pipa. Masyarakat Timur (Eastern societies) menggunakan air untuk mengurangi asap tembakau sebelum diinhalasi. Tembakau yang dikunyah (chewing tobacco) merupakan salah satu konsumsi yang jarang dilakukan. Pada tahun 1840-an barulah dikenal rokok, tetapi belum mempunyai dampak dalam pemasaran tembakau. Mendekati tahun 1881 baru terjadi produksi rokok besar-besaran dengan bantuan mesin. Melalui reklame, rokok menjadi terkenal dan pada tahun 1920sudah tersebar ke seluruh dunia. Pada beberapa dekade sebelum tahun 1960-an muncul bukti-bukti kuat bahwa penggunaan tembakau berhubungan dengan beberapa penyakit.
Bila telah kecanduan, sangatlah susah untuk menghentikan kebiasaan merokok. Angka kejadiannya pada remaja-remaja di Amerika Serikat pada tahun 2000 melebihi 25% dari tahun 1988. Lebih dari 80% perokok mulai pada umur 18 tahun serta diperkirakan sekitar 3000 remaja mulai merokok setiap hari. Angka kejadian merokok pada remaja lebih tinggi di pedesaan daripada perkotaan. Variasi etnis dan budaya dalam hal merokok mencerminkan interaksi yang majemuk antara pendapatan, harga rokok, ketersediaan rokok, budaya, stress, keturunan, umur, jenis kelamin, dan reklame rokok. Sebuah penelitian di Amerika Serikat mendapatkan bahwa pada semua etnis kecuali orang Amerika keturunan Afrika, angka kejadian merokok pada remaja lebih tinggi dari pada angka kejadian merokok pada dewasa. Remaja wanita perokok jumlahnya lebih kecil daripada remaja laki-laki perokok kecuali pada etnis kulit putih (Soetjiningsih, 2007).
Di Indonesia banyak pemandangan remaja merokok baik di tempat umum dan di rumahnya sering kali terlihat. dari hasil suatu penelitian, sekitar 15% remaja Indonesia telah merokok (Soekidjo, 2007). Sebuah studi kohort prospektif yang dilakukan di sekolah pada 276 perokok dengan umur 12 sampai 18 tahun, angka kejadian penghentian merokok adalah 46% pada perokok jarang, 12% pada perokok 1-9 batang perhari (Soetjiningsih, 2007). Perilaku yang mereka lakukan tidak sesuai dengan perilaku kesehatan yang seharusnya dilakukan. Padahal tidak sedikit dari mereka mengetahui dampak buruk dari merokok. Namun, bagi mereka hal tersebut merupakan sebuah kebiasaan yang mengenakkan bagi mereka, sehingga mereka sulit untuk mengubah perilaku mereka.
Di Desa Pituruh, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah juga banyak terdapat remaja mualai dari yang masih menginjak bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMA (Sekolah Menengah Atas) maupun yang sudah lulus SMA. Hal tersebut merupakan fenomena yang perlu diperhatikan dan dikendalikan karena hal tersebut bisa merusak generasi muda.. Perlu dilakukan analisa faktor apa yang menjadikan remaja di Desa Pituruh berperilaku merokok serta hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk mengubah perilaku tersebut. Karena apabila perilaku tersebut tidak diubah, akan akibatnya akan lebih fatal lagi. Karena nikotin (zat yang terkandung di dalam rokok) umumnya merupakan zat pertama yang digunakan oleh kaum muda yang masuk ke dalam rangkaian pengguanaan zat seperti tembakau, alcohol, marijuana, dan penyalahgunaan obat lainnya. Mereka yang menggunakan nikotin 15 kali lebih mungkin menggunakan obat lainnya daripada yang tidak merokok (Soetjiningsih, 2007).

B. Tujuan
1. Mengetahui hubungan perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh, Kabupaten Purworejo dengan perilaku kesehatan.
2. Mengetahui hubungan perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh, Kabupaten Purworejo dengan teori Lawrence Green, Snejandu B. Kar, dan WHO.
3. Mengetahui pengendalian yang dilakukan untuk merubah perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh, Kabupaten Purworejo.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku
Dari segi biologis, padalah suatu suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang sangat mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Sehingga perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati secara langsung dari luar.
Skiner (1938) seorang ahli psikologi, mermuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus trhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus Organisme Respons. Skiner membedakan adanya dua respons
1. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relative tatap. Misalnya: makanan yangsehat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya yang terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respons ini juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraanya dengan mengadakan pesta, dan sebagainya.
2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimuaition atau reinforcer, karena memperkuat respons. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan nelaksanakan tugasnya dengan baik (respons terhadap uraian tugasnya atau job skripsi) kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik dari lagi dalam melaksanakan tugasnya.

Diliat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Perilaku tertutup (covert behaviour)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terelubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati dengan jelas oleh orang lain. Oleh sebab itu, disebut covert behaviour atau unobservable behaviour, misalnya: seorang ibu hamil tahu pentingnya perisa kehamilan, seorang pemuda tahu bahwa HIV/AIDS dapat menular melalui hubungan seks, dan sebagainya.
2. Perilau terbuka (overt behaviour)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata dan terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu disebut overt behaviour, tindakan nyata atau praktik (practice) missal, seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa anaknya ke Puskesmas untuk diimunisasi, penderita TB paru minum obat secara teratur, dan sebagainya.

Seperti yang telah disebutkan di atas, sebagian besar perilaku manusia adalah operant response. Oleh sebab itu, untuk membentuk jenis respons atau perilaku perlu diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning ini menurut Skiner adalah sebagai berikut:
a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.
b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud
c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut.
d. Melakuakn pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka hadiah diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk maka dilakukan komponen (perilaku) yang kedua yang kemudian diberi hadiah (komponen pertama tidak perlu diberi hadiah lagi). Demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, an selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk (Soekidjo, 2007).

B. Perilaku Kesehatan
Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklarifisikan menjadi 3 kelompok:
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance)
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh karena itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek yaitu:
a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilaman telah sembuh dari penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
c. Perilaku gizi (makanan dan minuman). Makan dan minuman dapat memelihara serta meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atu fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour)
Perilaku ini adalah menyangkut upaya dan tindakan seseorang saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan dan perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.
3. Perilaku kesehatan lingkungan
Perilaku ini adalah tentang bagaiman seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Denga perkataan lain, bagaimana seseorang menglola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya. Misalnya bagaiman mengelola pembuangan tinja, air minum, dan sebaginya.

Seorang ahli lain (Becker,1979) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan ini, yaitu:
a. Perilaku hidup sehat
Adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk memperahankan dan meningkatkan kesehatannya. Perilaku ini mencakup antara lain:
1) Makan dengan menu seimbang (appropriate diet).
2) Olahraga teratur, juga mencakup kualitas (gerakan), dan kuantitas dalam arti frekuensi dan waktu yang digunakan untuk olahraga.
3) Tidak merokok. Merokok adalah kebiasaan buruk yang mengkibatkan berbagai macam penyakit. Ironisnya kebiasaan merokok ini, khususnya di Indonesia , seolah-olah sudah membudaya. Hampir 50% penduduk Indonesia usia dewasa merokok. Bahkan dari hasil suatu penelitian, sekitar 15% remaja Indonesia telah merokok.
4) Tidak minum minuman keras dan narkoba. Kebiasaan minum miras dan mengkonsumsi narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya lainya) juga cenderung meningkat. Sekitar 1% penduduk Indonesia dewasa diperkirakan sudah mempunyai kebiasaan minum miras.
b. Perilaku sakit (illness behaviour)
Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sait, pengetahuannya tentang penyebab dan geja sakit, pengoatan penyakit, dan sebagainya.
c. Perilaku peran sakit (the sick role behaviour)
Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran yang mencakup hak-hak orang sakit (obligation). Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick role). Perilaku ini meliputi:
1) tindakan untuk memperoleh kesembuhan,
2) mengenalmengetahui fasilitas atau saran pelayanan/penyembuhan penyakit yang layak,
3) mengetahui hak, (misalnya: hak meperoleh perawatan, memperoleh pelayanan kesehatan, dan sebagainya) dan kewajiban orang sakit (memberitahu penyekitnya kepada orang lain terutama kepada dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain,dan sebagainya).



C. Domain Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau ransangan dri luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat mosional, jenis kelamin, dan sebaginya.
2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosil,budaya, konomi, politik, dan sebagainya. Faktor linkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam3 (tiga) domain, ranah atau kawasan yakni: kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni:
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).
a. Proses Adopsi Perilaku
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurtan, yaitu:
1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu,
2. Interest, yakni orang yang mulai tertarik kepada stimulus,
3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru,
5. Adaption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian , dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Apabila penerimaan perilau baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak berlangsung lama.

b. Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagi mengingat suatu materi yang telah dibelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifikdi seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
2. Memahami (comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.


3. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyususn formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untukmelakukan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek yang disdasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau dengan kriteria yang telah ada.

2. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Newcomb salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakn suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakankesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagi suatu penghayatan terhadap objek.
a. Komponen Pokok Sikap
Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yaitu:
1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikapyang utuh ini, penegtahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

b. Berbagai Tingkatan Sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan:
1. Menerima (receiving)
2. Merespon (responding)
3. Menghargai (valuing)
4. Bertanggung jawab (responsible)

3. Praktik atau tindakan (practice)
Suatu sikap yang belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan suatu sikapmenjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yag memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor ukungan (support) dari pihak lain, misalnya dari orang terdekat. Prektik ini mempunyai beberapa tingkatan:
1. Persepsi (perseption), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
2. Respons terpimpin (guided response), yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.
3. Mekanisme (mecanism), melakukan sesuatu secara benar dan otomatis sehingga menjadi suatu kebiasaan.
4. Adopsi (adoption), yaitu suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

D. Perilaku Merokok
Merokok adalah sebuah praktek dimana substansi, paling sering tembakau, dibakar dan asap merasai atau inhaled. Hal ini terutama dipraktikkan sebagai rute administrasi untuk rekreasi menggunakan narkoba, karena pembakaran yang rilis zat aktif dalam obat seperti nikotin dan menjadikannya tersedia untuk penyerapan melalui paru-paru. Hal ini dapat juga dilakukan sebagai bagian dari ritual, teknologi trances rohani dan pencerahan. Metode yang paling umum dari merokok hari ini adalah melalui rokok, terutama industrialisasi diproduksi tetapi juga dari tangan-terguling longgar dan tembakau rolling kertas. Merokok alat-alat lainnya termasuk pipa, cerutu, hookahs dan bongs.
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lain. Rokok biasanya dijual dalam bungkusan berbentuk kotak atau kemasan kertas yang dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam kantong. Sejak beberapa tahun terakhir, bungkusan-bungkusan tersebut juga umumnya disertai pesan kesehatan yang memperingatkan perokok akan bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan dari merokok, misalnya kanker paru-paru atau serangan jantung(walapun pada kenyataanya itu hanya tinggal hiasan, jarang sekali dipatuhi).
Merokok merupakan salah satu yang paling umum bentuk rekreasi menggunakan narkoba. Tembakau merokok jauh hari ini adalah yang paling populer bentuk merokok dan dilakukan oleh lebih dari satu miliar orang di sebagian besar masyarakat semua manusia. Kurang umum termasuk obat untuk merokok cannabis dan candu. Kebanyakan obat yang diasapi dianggap addictive. Beberapa bahan yang diklasifikasikan sebagai keras narkose, seperti heroin dan kokain retak, namun penggunaan ini sangat terbatas karena mereka sering tidak tersedia komersial.
Sejarah merokok dapat tanggal ke seawal 5000 SM, dan telah tercatat dalam berbagai budaya di seluruh dunia. Awal merokok berkembang berkaitan dengan upacara keagamaan; sebagai persembahan untuk dewa-dewa, dalam pembersihan ritual atau untuk membolehkan Shaman dan imam untuk merubah pikiran mereka untuk tujuan peramalan atau pencerahan rohani. Setelah Eropa eksplorasi dan penaklukan dari Amerika, praktik merokok tembakau dengan cepat menyebar ke bagian dunia. Di daerah-daerah seperti India dan Afrika Subsaharan, ia bergabung dengan yang ada praktek merokok (kebanyakan dari cannabis). Di Eropa, ia baru diperkenalkan jenis kegiatan sosial dan bentuk obat asupan yang sebelumnya telah diketahui.
Persepsi sekitarnya merokok telah bervariasi dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain; suci dan berdosa, canggih dan vulgar, sebuah obat mujarab dan kesehatan bahaya maut. Hanya baru-baru ini, dan terutama di negara-negara industri Barat, telah datang untuk merokok dapat dilihat dalam cahaya yang jelas negatif. Today medis penelitian telah membuktikan bahwa merokok tembakau adalah salah satu yang menyebabkan banyak penyakit seperti kanker paru-paru, serangan jantung dan juga dapat mengakibatkan cacat lahir. Sumur-membuktikan kesehatan bahaya merokok yang telah menyebabkan banyak lembaga tinggi negara untuk pajak untuk produk tembakau dan kampanye anti merokok yang diluncurkan setiap tahun dalam upaya untuk mengekang merokok tembakau.
Risiko penyakit yang berhubungan langsung dengan sistem cardiovascular oleh vector yang merokok, yang selama ini memungkinkan tingginya jumlah carcinogens deposit ke dalam mulut, tenggorokan, dan paru-paru. Tembakau yang berhubungan dengan penyakit ini adalah pembunuh terbesar di dunia saat ini dan disebut sebagai salah satu penyebab kematian prematur di negara-negara industri. Di Amerika Serikat beberapa kematian 500.000 per tahun karena merokok dan penelitian terakhir diperkirakan sebanyak 1/3 dari penduduk laki-laki di China akan memiliki hidup cukup singkat akibat merokok (Wikipedia, 2009).

E. Merokok pada Pemaja
Merokok merupakan subuah kebiasaan yang dapat memberikan keninkmatan bagi si perokok, namun di lain pihak dapat menimbulkan dampak buruk baik bagi si perokok maupun orang-orang di sekitarnya. Beberapa remaja ada dalam proses perkembangan kecanduan tembakau selam beberapa tahun atau dekade. Pada remaja, pola merokok juga lebuh bervariasi dalam jumlah maupun frekuensinya dibanding dewasa. Kaum muda tidak merasa kebutuhan menurun kan mata rantai yang membahayakan terhadap paparan tembakau, juga pada dewasa segera merasakan adanya efek menguntungkan semu dari merokok jangka panjang yang mengancam kesehatan. Beberapa remaja, kecanduan nikotinnya ada dalam tahap bulan madu (honeymoon phase). Keberhasilan pengobatan tergantung pada penyesuaian secara individu dan cara yang tepat yang dapat meningkatkan motivasi.

Faktor-Faktor Resiko Bagi Remaja Untuk Merokok
Seperti penggunaan zat-zat (substances) lainnya, terdapat beberapa faktor risiko bagi remaja sehingga mereka menjadi perokok. Faktor-faktor remaja tersebut antara lain faktor psikologik, faktor biologik, dan faktor lingkungan serta regulasi atau peraturan penjualan rokok.
1. Faktor psikologik
a. Faktor perkembangan social
Aspek perkembangan pada remaja antara lain:
1. menetapkan kebebasan dan otonomi,
2. membentuk identitas diri,
3. penyesuaian perubahan psikososial berhubungan dengan maturasi fisik.

Merokok dapat menjadi sebuah cara bagi remaja agar mereka tampak bebas dan dewasa saat mereka menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya yang merokok. Istirahat/santai dan kesenangan, tekanan-tekanan teman sebaya, penampilan diri, sifat ingi tahu, stres, kebosanan, ingin kelihatan gagah, dan sifat suka menentang, merupakan hal-hal yang mengkontribusi mulainya merokok. Sedangkan faktor risiko lainnya adalah rasa rendah diri, hubungan antar perorangan yang jelek, kurang mengatasi stres, putus sekolah, social ekonomi yang rendah, serta tahun-tahun transisi antara sekolah dasar dan sekolah menengah (usia 11-16 tahun). Merokok pada remaja sering dihubungkan dengan nilai di sekolah yang jelek, aspirasi yang rendah, penggunaan alkohol serta penggunaan obat-obat lainnya, absen sekolah, kemungkinan putus sekolah, rendah diri, suka melawan, dan pengetahuan tentang bahayamerokok yang rendah.

b. Faktor psikiatrik
Studi epidemiologi pada dewasa mendapatkan asosiasi antara merokok dengan gangguan psikiatrik seperti skizofrenia, depresi, cemas, dan penyalahgunaan zat-zat tertentu. Pada remaja didapatkan asosiasi antara merokok dengan dengan depresi dan cemas. Gejala depresi lebih sering pada remaja perokok daripada perokok. Merokok berhubungan dengan meningkatnya kejadian depresi mayor dan penyalahgunaan zat-zat tertentu. Remaja yang memperlihatkan gejala depresi dan cemas mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk memulai merokok daripada remaja yang asimptomatik. Remaja dengan gangguan cemas bisa menggunakan rokok untuk menghilangkan kecemasan yang mereka alami.
Sebuah studi mendapatkan bahwa anak dengan ADHD dua kali lebih mungkin mengkonsumsi zat/obat dini (termasuk tembakau) dibanding anak tanpa ADHD atau secara eksplisit tidak memisahkan penggunaan nikotin dengan alkohol atau marijuana. Studi lain melaporkan bahwa bila ADHD bersamaan dengan depresi mayor dapat menjadi prediktor kecanduan nikotin yang berat. Sampai saat ini masih terjadi perdebatan tentang hubungan antara merokok dengan penyakit dopamin oleh nikotin atau inhibisi monoamin oksidase A dan B oleh campuran non-nikotin pada tembakau, dapat meniru kerja stimulan yang merupakan obat pilihan pada ADHD. Kenyataannya bahwa efek nikotin yang dikeluarkan melalui tempelan transdermal (transdermal patches) sebanding dengan metilfenidat untuk menghilangkan gejala ADHD. Gejala psikiatrik dapat muncul selama gejala putus nikotin (nicotine withdrawal) seperti cemas, depresi, bingung, dapat menjelaskan sukarnya melepaskan diri dari populasi psikiatrik. Masih diperdebatkan apakah pengobatan farmakologik seperti pengobatan stimulan pada ADHD dapat meningkatkan kepekaan terhadap penggunaan zat-zat tertentu berikutnya termasuk tembakau.

2. Faktor biologik
a. Faktor kognitif
Faktor lain yang mungkin mengkontribusikan perkembangan kecanduan nikotin adalah merasakan adanya efek bermanfaat dari nikotin. Sebagai contoh, beberapa dewasa perokok melaporkan bahwa merokok memperbaiki konsentrasi. Telah dibuktikan bahwa deprivasi nikotin mengganggu perhatian dan kemampuan kognitif, tetapi hal ini kan berkurang bila mereka diberi nikotin atau rokok. Studi-studi yang dilakukan dengan dewasa perokok dan bukan perokok memperlihatkan bahwa nikotin dapat meningkatkan finger-tapping rate, respon motorik dalam tes fokus perhatian, perhatian terus-menerus dan pengenalan memori. Pada remaja efek nikotin dalam meningkatkan penampilan tidak diketahui, dengan demikian tidak jelas apakah nikotin memegang peranan penting dalam memulai atau mempertahankan merokok pada remaja.
b. Faktor jenis kelamin
Patut diperhatikan bahwa belakangan ini kejadian merokok meningkat pada remaja wanita. Wanita perokok dilaporkan menjadi percaya diri, suka menentang dan secara sosial cakap, keadaan ini berbeda dengan laki-laki perokok yang secara sosial tidak aman.

c. Faktor etnik
Di Amerika Serikat, angka kejadian merokok tertinggi pada orang-orang kulit putih dan penduduk asli Amerika, serta terendah pada orang-orang Amerika keturunan Afrika dan Asia. Laporan tersebut memberi kesan bahwa perbedaan asupan nikotin dan tembakau serta waktu paruh kotinin antara perokok dewasa Amerika keturunan Afrika dengan orang kulit putih adalah substansial. Ini sebagian dapat menjelaskan mengapa ada perbedaan risiko pada menjelaskan mengapa ada perbedaan risiko pada beberapa etnik dalam hal penyakit yang berhubungan dengan merokok.

d. Faktor genetik
Variasi genetik mempengaruhi fungsi reseptor dopamin dan enzim hati yang memetabolisme nikotin. Konsekuensinya adalalah meningkatnya risiko kecanduan nikotin pada beberapa individu. Variasi efek nikotin dapat diperantarai oleh polimorfisme gen reseptor dopamin yang mengakibatkan lebih besar atau lebih kecilnya ganjaran (reward) dan mudah kecanduan obat. Pada studi genetik molekuler akhir-akhir ini, individu gengan alela TaqIA (A1 dan A2) dan TaqIB (B1 dan B2) dari gen reseptor dopamin D2 lebih mungkin merokok 100 kali atau lebih dalam hidupnya dan mereka lebih awal memulai merokok serta lebih sedikit usaha untuk meninggalkannya. Individu yang tidak ada/kurang fungsi CYP2A6, yang secara genetik merupakan variasi enzim dari sitokrom P450, secara bermakna memproteksi diri dari kecanduan tembakau karena menggangu metabolisme nikotin. Kecanduan nikotin melibatkan faktor lingkungan dan genetik yang multipel. Faktor genetik dapat menjelaskan banyaknya variasi penggunaan tembakau pada remaja, serta tampak mempengaruhi tembakau pada remaja, serta tampak mempengaruhi reaksi farmakologik terhadap nikotin, beberapa darinya tampak berkaitan dengan gen yang mempengaruhi ekspresi alkoholisme.

3. Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan tembakau antara lain orang tua, saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok, terpapar reklame tembakau, artis pada rekame tembakau di media. Orang tua memegang peranan terpenting. Dari remaja yang merokok, didapatkan 75% salah satu atau kedua orang tuanya merokok. Sebuah studi Kohort pada anak-anak SMA mendapatkan bahwa perdiktor yang bermakna dalam peralihan dari kadang-kadang merokok menjadi merokok secara teratur adalah orang tua merokok dan konflik keluarga.
Reklame tembakau diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih kuat daripada pengaruh yang lebih kuat daripada pengaruh orang tua atau teman sebaya, mungkin karena mempengauhi persepsi remaja terhadap penampilan dan manfaat merokok. Memulai menggunakan tembakau lebih erat hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan, sedangkan peningkatan dari merokok pertama ke kecanduan rokok tampaknya dipengaruhi oleh faktor personal dan farmakologik.

4. Faktor regulatori
Peningkatan harga jual atau diberlakukan cukai yang tinggi, akan menurunkan pembelian dan konsumsi. Pembatasan fasilitas untuk merokok, dengan menetapkan ruang/daerah bebas rokok, diharapakn mengurangi konsumsi. Tetapi kenyataannya terdapat peningkatan kejadian memulai merokok pada remaja, walaupun telah dibuat usaha-usaha untuk mencegahnya.


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil dari observasi yang dilakukan pada remaja di Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo adalah sebagai berikut:
1. Remaja Desa Pituruh yang merokok adalah remaja awal/dini yaitu umur 11-13 tahun, remaja pertengahan, yaitu umur 14-16 tahun, dan remaja lanjut, yaitu 17-20 tahun (Soetjingsih, 2007). Mereka adalah laki-laki.
2. Sebagian besar dari mereka perilaku merokok tersebut berawal dari ingin mencoba saja karena pengaruh teman bermain.
3. Sebagian besar dari mereka, orang tuanya juga perokok.
4. Orang tua mereka awalnya melarang perilaku mereka saat mereka pada usia remaja dini, namun lambat laun perilaku tersebut dibiarkan saja oleh orang tua mereka.
5. Tidak ada petugas kesehatan di Kecamatan Pituruh yang melakukan upaya pencegahan dan pengendalian terhadap perilaku merokok pada remaja. Pelayanan yang diberikan dan dipromosikan lebih pada balita, ibu hamil, dan orang sakit.
6. Pihak sekolah tempat mereka belajar yang mengetahui mereka merokok, tidak memberikan arahan dan menegur agar tidak merokok lagi. Kalaupun ada yang menegur hanya memberikan skors saja, tanpa melakukan monitoring terhadap remaja perokok tersebut samapi tidak megulangi perilaku merokok.
7. Tidak sedikit dari mereka yang tidak mengetahui dampak buruk dari merokok, sehingga perilaku merokoknya lebih parah. Berawal dari satu hari 2 batang menjadi 5 batang perhari, dan seterusnya serta lambat laun memilih merk rokok yang lebih enak dimana kandungan zat berbahayanya semakin besar.
8. Sebagian yang lain mengetahui dampak buruk dari merokok. Namun mereka tetap melakukan perilaku tersebut karena bagi mereka merokok adalah suatu kenikmatan. Lagi pula mereka belum merasakan dampak buruknya, sehingga mereka tetap mempertahankan bahkan meningkatkan perilaku tersebut.

B. Pembahasan
Perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo dapat dilihat dari berbagai teori perilaku. Dari teori-teori yang ada dapat dikaitkan dan diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh berdasarkan hasil pengamatan/observasi. Dengan teori-teori yang ada dapat juga dilakukan pengendalian untuk merubah perilaku merokok pada remaja.
a. Perilaku merokok remaja Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh dipandang dari perilaku kesehatan
Berdasarkan klasifikasi perilaku kesehatan yang terdiri dari perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance), perilaku pencarian dan penggunaan sistem atu fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour), dan perilaku kesehatan lingkungan (Soekidjo, 2007) maka perilaku merokok bukan merupakan perilaku kesehatan seperti yang diharapkan. Dalam hal ini health maintanance atau perilaku pemeliharaan kesehtan tidak dilakukan oleh remaja di desa Pituruh. Mereka tidak mencegah penyakit, meningkatkan kesehatan dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi, sebaliknya mereka justru mengundang penyakit dari bahan-bahan berbahaya yang terkandung dalam rokok dan menurunkan kesehatan mereka dengan merokok.
Dilihat dari health seeking behaviour, remaja tersebut juga tidak melakukannya. Seharusnya mereka mencari pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kesehatan mereka dan mencegah terjadinya penyakit. Namun mereka tetap melakukan perilaku merokok karena merasa mereka masih sehat dan belum mengalami dampak buruk akibat rokok yang dihisapnya.
Sedangkan menurut perilaku kesehatan dalam kelompok perilaku kesehatan lingkungan, merekapun juga tidak mencerminkan perilaku kesehatan lingkungan. Hal ini terjadi karena respons mereka terhadap lingkungan perokok adalah meniru adanya perilaku tersebut, bukan membuat pertahanan agar tidak berpengaruh buruk terhadap kesehatan mereka.
Perilaku remaja Desa Pituruh yang tidak menunjukkan perilaku kesehatan tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut antara lain faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal meliputi tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. Faktor eksternal meliputi lingkungan, baik lingkungan fisik, sosiobudaya, konomi, politik, dan sebagainya (Soekidjo, 2007).
Faktor eksternal yang berupa tingkat kecerdasan di sini adalah pengambilan sikap/keputusan yang tidak sesuai dengan pengetahuan yang ada. Rokok mengandung bahan-bahan berbahaya yang akan merusak tubuh hingga mematikan jika dikonsumsi. Seharusnya tidak dikonsumsi. Faktor lain seperti emosional berhubungan dengan kondisi psikologis yang tidak baik, seperti depresi dan cemas. Depresi dan cemas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan remaja menjadi perokok. Padahal merokok justru akan meningkatkan depresi dan kecemasan seseorang (Soetjiningsih, 2007).
Faktor jenis kelamin pada remaja di desa Pituruh yang kesemuanya dalam observasi berjenis kelamin laki-laki, berhubungan dengan tingkat percaya diri dan agar terlihat maskulin. Sedangkan faktor eksternal yang berupa lingkungan, berhungan dengan lingkungan keluarga (orang tua), sekolah, teman bermain sampai petugas kesehatan tidak mengarahkan, menegur hingga memonitoring remaja tersebut sampai tidak merokok.
Berdasarkan pengembangan teori Bloom yang meliputi pengetahuan, sikap dan praktik atau tindakan (Soekidjo, 2007), remaja di Desa Pituruh tersebut masih dalam taraf tahu (know). Dalam hal ini remaja tahu akan bahaya rokok, itupun sebagian kecil dari mereka. Meraka yang tahu, tidak dilanjutkan pada tingkat pengetahuan lainnya yaitu memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi, sehingga tidak timbul sikap dan tindakan untuk berperilaku hidup sehat sesuai dengan perilaku sehat dengan tidak merokok.

b. Determinan perilaku
Perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebaginya. Gejala kejiwaan tersebut ditentukan atau dipengaruhi oleh berbagi factor lain, diantaranya adalah factor pengalaman, keyakinan, sarana fisik sosiobudaya masyarakat, dan sebaginya sehingga proses terbentuknya perilaku ini dapat didilustrasikan sebagai berikut:

Di samping asumsi-asumsi tersebut, ada beberapa asumsi lain, antara lain asumsi yang mendasarkan kepada teori kepribadian dari Spranger. Spranger membagi kepribadian manusia menjadi 6 macam nilai kebudayaan. Kepribadian seseorang ditentukan oleh salah satu nilai budaya yang dominan pada diri orang tersebut. Selanjutnya, kepribadian tersebut akan menentukan pola dasar perilaku manusia yang bersangkutan.
Pada perilaku merokok remaja di Desa Pituruh, pengalaman dari teman bermain yang merokok, keyakinan tidak terjadi dampak buruk dengan merokok, fasilitas berupa uang untuk bisa membeli rokok dan lingkungan sosial budaya yang kurang ketat untuk melarang berperilaku merokok menyebabkan timabulnya pengetahuan, persepsi dan sikap yang salah tentang perilaku merokok, adanya keinginan, kehendak, motivasi baik dari luar maupun dari diri sendiri serta niat untuk merokok, sehingga terjadi perilaku merokok tersebut pada diri remaja. Seperti yang disampaikan oleh Soetjiningsih (2007) bahwa perilaku merokok pada tersebut awalnya dipengaruhi oleh lingkungan, namun peningkatan dari merokok pertama sampai kecanduan rokok dipengaruhi oleh faktor personal dan farmakologik. Hal ini sesuai denagn yang disampaikan oleh Spranger bahwa kepribadian menentukan pola dasar perilaku manusia yang bersangutan (Soekidjo, 2007).
Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkap determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green (1980), Snehandu B. Kar (1983), dan WHO (1984).

1. Teori Lawrence Green
Green mencoba menganalisis perilaku menusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor:
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebaginya.
c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku kesehatan.


Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:


Di mana:
B = Behaviour RF = Reinforcing factors
PF = Predisposing factors f = fungsi
EF = Enabling factors

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku (Soekidjo, 2007).
Pada remaja di Desa Pituruh, pengetahuan yang mereka tahu tentang rokok kurang, sehingga pengetahuan tersebut justru menjadi pengetahuan yang salah. Sikap yang ditunjukkan oleh remaja-remaja tersebut juga salah. Kepercayaan yang ada justru mengarah kepada keadaan yang baik-baik saja dalam hal ini sehat walaupun merokok. Tidak ada tradisi larangan merokok, karena bagi mereka itu kebebasan setiap orang untuk menerima kenikmatan dari merokok. Fasilitas kesehatan berupa pelayanan kesehatan bagi remaja tidak terlihat di Puskesmas Pituruh. Seharusnya terdapat pelayanan kesehatan baik di Puskesmas maupun di luar (seperti penyuluhan) untuk memberikan informasi tentang bahaya rokok, sehingga bisa mencegah dan mengendalikan perilaku merokok pada remaja. Tidak adanya layanan kesehatan tersebut, serta sikap petugas kesehatan yang tidak memperhatikan fenomena merok pada remaja di Desa Pituruh. Sehingga berdasarkan teori Lawrence Green hal-hal tersebut memperkuat terbentuknya perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh.

2. Teori Snehandu B. Kar
Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari:
a. niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behaviour intention)
b. dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social-support)
c. ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessebility of information)
d. otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau keputusan (personal autonomy)
e. situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation)

Uraian di atas dapat dirumuskan sebagai berikut:



Di mana:
B = Behaviour AI = Accessebility of Information
f = fungsi PA = Personal Autonomy
BI = Behaviour Intention AS = Action Situation
SS = Social Support

Disimpulkan bahwa perilaku kesehatn seseorang atau masyarakat ditentukan oleh niat orang terhadap objek kesehatan, ada atau tidaknya dukungan dari masyarakat sekitarnya, ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan, kebebasan dari individu untuk mengambil keputusan/bertindak, dan situasi yang memungkinkan ia berperilaku/bertindak atau tidak berperilaku/tidak bertindak (Soekidjo, 2007).
Hampir sama dengan teori sebelumnya, pada remaja di Desa Pituruh, niat tersebut justru bukan untuk meningkatkan kesehatannya namun justru menurunkan kesehatannya dengan merokok. Selain itu ada kebebasan untuk mengambil keputusan merokok, situasi yang memungkinkan untuk merokok., lingkungan yang mendukung untuk merokok serta tidak adanya informasi tentang bahaya rokok bagi kesehatan. Hal-hal tersebut berdasarkan teori Snehandu B. Kar memperkuat terbentuknya perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh.

3. Teori WHO
Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 alasan pokok. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayan-kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan).
Secara sederhana teori WHO dapat diilustrasikan sebagai berikut:


Di mana:
B = Behaviour PR = Personal Reference
F = fungsi R = Resources
TF = Toughts and feeling C = Culture

Dari teori WHO dapat disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh pemikiran dan perasaan seseorang, adanya orang lain yang dijadikan referensi dan sumber-sumber atau fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung perilaku dan kebudayaan masyarakat (Soekidjo, 2007). Pada remaja di Desa Pituruh, pemikiran dan perasaan mereka tidak benar. Mereka cenderung menilai tidak nampak gangguan kesehatn akibat rokok. Perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh menurut teori WHO diperkuat oleh tidak adanya sumber-sumber, fasilitas dan budaya yang mengarahkan mereka untuk tidak melakukan perilaku merokok.

c. Perubahan perilaku
Perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh bukan berarti tidak bisa dikendalikan. Pengendalian perilaku tersebut bisa dilakukan dengan perubahan perilaku. Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbanagan bahwa menurut Soekidjo (2007), hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan dari pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang progam-program kesehatan lainnya. Teori tentang perubahan perilaku antara lain:
1. Teori Stimulus Organisme (SOR)
2. Teori Festinger (Dissonance Theory)
3. Teori Fungsi
4. Teori Kurt Lewin.

Teori perubahan perilaku yang digunakan dalam upaya pengendalian perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh, berdasarkan faktor-faktor penyebab perilaku tersebut yang telah di bahas, adalah teori Kurt Lewin. Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restining forces). Pada teori Kurt Lewin menekankan bahwa dalam melakukan perubahan perilaku adalah dengan melakukan ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut di dalam diri seseorang sehingga ada tiga kemingkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang yaitu:
a. Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat
Hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan perilaku. Stimulus ini berupa penyuluhan-penyuluhan atau informasi-informasi sehubungan dengan perilaku yang bersangkutan. Pada kasus perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh, stimulus yang diberikan berupa pemberian informasi atau penyuluhan tentang bahaya rokok dan pentingnya menghindari perilaku merokok oleh petugas kesehatan di Kecamatan Pituruh di bawah naungan Puskesmas Pituruh. Dengan pemberian informasi atau penyuluhan tersebut, remaja menjadi yakin akan bahaya merokok, sehingga hal tersebut mendorong remaja sedikit demi sedikit tidak melakukan perilaku merokok lagi.

b. Kekuatan-kekuatan penahan menurun
Hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. Pada kasus perilaku merokok pada remaja di desa Pituruh, hal yang dilakukan di sini adalah pemberian pengertian bahwa merokok tidak mengganggu kesehatan adalah salah. Kemudian memberikan informasi yang benar tentang rokok. Maka kekuatan penahan tersebut akan melamah, sehingga remaja-remaja tersebut sedikit demi sedikit tidak merokok lagi. Terjadilah perubahan perilaku dari yang merokok menjadi tidak merokok pada remaja-remaja tersebut.

c. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun
Dengan keadaan semacam ini jelas akan terjadi perubahan perilaku. Seperti hal-hal tersebut di atas, pada kasus perilaku merokok pada remaja di desa Pituruh, penyuluhan yang memberikan informasi tentang bahaya rokok , pentingnya menghindari perilaku merokok dan tidak benarnya kepercayaan bahwa merokok tidak mengganggu kesehatan, akan meningkatkan kekuatan pendorong dan menurunkan kekuatan penahan.

BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Perilaku merokok remaja di Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo tidak sesuai dengan perilaku kesehatan.
2. Berdasarkan Teori Lawrence Green, pengetahuan, sikap, kepercayaan, dan tradisi yang ada, serta ketidaktersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan yang tidak memperhatikan perilaku merokok memperkuat perilaku merokok pada remaja tersebut. Berdasarkan teori Snehandu B. Kar, niat remaja untuk merokok, tidak adanya larangan dari masyarakat sekitarnya, tidak adanya informasi tentang kesehatan, kebebasan dari individu untuk mengambil keputusan/bertindak, dan situasi yang memungkinkan ia berperilaku/bertindak memperkuat perilaku merokok pada remaja tersebut. Berdasarkan teori WHO, pemikiran dan perasaan remaja yang salah tentang rokok, tidak adanya orang lain yang dijadikan referensi dan sumber-sumber atau fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung perilaku dan kebudayaan masyarakat yang salah memperkuat perilaku merokok pada remaja.
3. Pengendalian yang dilakuakan adalah dengan perubahan perilaku pada remaja di Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo berdasarkan teori Kurt Lewin.

B. SARAN
1. Remaja perokok di Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo seharusnya mencari tahu tentang bahaya rokok bagi kesehatan.
2. Orang tua serta pihak sekolah seharusnya mengarahkan remaja di Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo untuk tidak merokok.
3. Petugas kesehatan Puskesmas Pituruh seharusnya melakukan upaya pencegahan dan pengendalian terhadap perilaku merokok pada remaja di Desa Pituruh, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo.

DAFTAR PUTAKA
Anonim. 2009. Rokok. http://id.wikipedia.org/wiki/Rokok. Diakses tanggal 25 Juni 2009.

--------, 2009. Merokok. http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Smoking&prev=/translate_s%3Fhl%3Did%26q%3DMEROKOK,%2BWIKIPEDIA%26tq%3DSmoking,%2BWikipedia%26sl%3Did%26tl%3Den. Diakses tanggal 25 Juni 2009.

Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta: Jakarta.

Soetjiningsih. 2007. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Sagung Seto: Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar