WELCOME TO MY BLOG

Semua ini adalah proses belajar...
Penuh kekurangan...
Semoga bermanfaat...

Rabu, 06 Januari 2010

Perkembangan Kognitif Remaja (Tumbuh Kembang Anak)

BAB I
PENDAHULUAN

Masa remaja merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia yang sering digambarkan dengan masa yang paling indah, dan tidak terlupakan karena penuh dengan kegembiraan dan tantangan (Kartini Kartono, 1992). Masa remaja adalah masa peralihan dari anak menuju dewasa (Hurlock, 1993), karena pada fase ini remaja secara fisik telah mengalami perkembangan sebagaimana layaknya orang dewasa dan perkembangan fisik ini selanjutnya mengarahkan remaja kepada pembentukan dan pencarian identitas dirinya (Santrock, 1995). Perkembangan fisik membuat remaja merasa dirinya telah dewasa dan harus mendapat peran yang sama sebagaimana orang dewasa dalam membuat keputusan, menentukan kegiatan, menentukan tempat sekolah dan lain sebagainya. Sementara disisi lain perkembangan fisik yang telah matang pada remaja tersebut tidak diikuti dengan kematangan emosi, kognitif dan ranah psikologis yang lain, sehingga para orang dewasa masih menganggap mereka sebagai anak-anak yang membutuhkan pengasuhan bukan dukungan, yang membutuhkan perlindungan bukan bimbingan dan membutuhkan sosialisasi bukan pengarahan. Kekaburan peran ini menjadikan masa remaja menjadi masa yang penuh dengan goncangan (orang barat menyebutnya dengan sturm und drung), masa peralihan dan masa pencarian identitas (Hurlock, 1993, Darajad, 1970,Bisri, 1995, Monks, 2002). Hal ini juga identik dengan kata ’pemberontakan’, dalam masalah psikologi sendiri sering disebut masa storm and stress karena banyaknya goncangan-goncangan dan perubahan-perubahan yang cukup radikal dari masa sebelumnya (Kartini Kartono, 1992).
Salah satu tugas perkembangan remaja yang harus dilalui adalah mampu berpikir secara lebih dewasa dan rasional, serta memiliki pertimbangan yang lebih matang dalam menyelasaikan masalah. Mereka harus mampu mengembangkan standard moral dan kognitif yang dapat dijadikan sebagai petunjuk dan menjamin konsistensi dalam membuat keputusan dan bertindak. Dengan kata lain remaja harus memiliki kemampuan intelektual serta konsepsi yang dibutuhkan untuk menjadi warga masyarakat yang baik.
Perkembangan cara berpikir merupakan satu hal yang cukup menarik untuk dicermati, karena pada fase ini cara berpikir konkrit yang ditunjukkan pada masa kanak-kanak sudah ditinggalkan. Namun perkembangan cara berpikir ini ternyata tidak terlepas dari kehidupan emosinya yang naik turun juga. Penentangan dan pemberontakan yang ditunjukan dengan selalu melancarkan banyak kritik, bersikap sangat kritis pada setiap masalah, menentang pereturan sekolah maupun di rumah menjadi suatu ciri mulai meningkatnya kemampuan berpikir dengan sudut pandang yang mulai meluas pada remaja. Oleh karenanya setelah melalui fase negatif pertama pada usia 2-4 tahun, masa ini sering pula disebut Trotzalter atau fase negatif kedua (Kartini Kartono, 1992).

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Kognitif
Kognitif dalam konteks ilmu psikologi sering didefinisikan secara luas mengenai kemampuan berpikir dan mengamati, suatu perilaku yang mengakibatkan seseorang memperoleh pengertian atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengertian. Dengan kata lain merupakan cara berpikir tentang sesuatu dan cara mengetahui sesuatu. Kemampuan berkonsentrasi terhadap suatu rangsang dari luar, memecahkan masalah, mengingat atau memanggil kembali dari memorinya suatu kejadian yang telah lalu, memahami lingkungan fisik dan sosial termasuk dirinya sendiri dan proses kognitif (Soetjiningsih, 2007).
Menurut Jean Piaget, seorang ahli perkembangan kognitif (Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Jean Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, di mana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ideide tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.
Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Jean Piaget mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations).Jean Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (Papalia & Olds, 2001).


B. Teori Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif manusia sendiri berkembang secara bertahap (Soetjiningsih, 2007). Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Jean Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata (skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya) dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Jean Piaget memperoleh Erasmus Prize. Jean Piaget membagi skema atau tahapan yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia (Wikipedia, 2009).
Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Jean Piaget (Soetjiningsih, 2007):
1. Stadium sensori-motorik (umur 0-18 bulan atau 24 bulan)
Pada stadium ini perkembangan inteligensi anak baru nampak dalam bentuk aktifitas motorik sebagai rekasi stimulasi motorik. Gerakan-gerakan refleks seperti menghisap, meraih, menggenggam, menggoyang-goyangkan badan, gerakan seperti memukul dan menendang sesuatu merupakan tahap pertama yang akan membawa anak ke arah penguasaan pengetahuan mengenai dunia luar. Dalam stadium ini yang penting adalah tindakan kongkrit, bukan tindakan imaginer atau hanya dibayangkan saja.
Pada stadium sensori motorik anak akan berkembang ke arah suatu proses. Jean Piaget menamakan proses ini proses desentrasi artinya anak dapat memandang dirinya sendiri dan lingkungan sebagai dua entitas yang berbeda. Jean Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan (Wikipedia, 2009):
1. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
6. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
2. Stadium pra-operasional (umur 18 bulan – 7 tahun)
Stadium ini dimulai dengan penguasaan bahasa yang sistematis, permainan simbolis (mampu bermain pura-pura misalnya korek api dibayangkan sebagai mobil), imitasi tingkah laku (meniru perilaku ibu atau ayahnya, dokter yang kemarin memeriksanya) maupun bayangan dalam mental. Semua proses ini menunjukkan bahwa anak sudah mampu berpikir simbolis, tidak lagi mereaksi begitu saja terhadap stimulus-stimulus melainkan ada suatu aktifitas internal, meskipun memang masih ke arah egosentris. Anak belum mampu untuk berpikir dengan mengambil persepektif atau sudut pandang orang lain baik secara konseptual, persepsual dan emosional-motivasional.
Menurut Jean Piaget (Wikipedia, 2009) tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hiduppun memiliki perasaan.
Ciri yang jelas pada stadium pra operasional adalah centralized atau memusat, anak hanya mampu memusatkan perhatian pada satu dimensi saja, tidak dapat dibalik (irreversible) karena belum memahami sebab akibat serta bersifat terarah statis.

3. Stadium operasional konkrit (umur 7 – 11 tahun)
Stadium operasional konkrit dapat digambarkan sebagai penyempurnaan kekurangan stadium pra operasional. Pada fase ini egosentris berpikir sudah mulai menghilang. Anak mampu melakukan desentrasi, yaitu mampu memperhatikan lebih dari satu dimensi sekaligus dan mampu menghubungkan dimensi-dimensi tersebut. Anak juga mampu memperhatikan aspek dinamis dari perubahan situasi, sehingga mampu memahami operasi logis suatu reversibilitas ataupun hukum sebab akibat.
Namun seperti yang sudah ditunjukkan secara tersirat oleh istilahnya sendiri, pada stadium ini anak mampu melakukan aktifitas logis tertentu tetapi hanya dalam situasi yang konkrit. Apabila dia dihadapkan pada suatu masalah secara verbal ataupun abstrak yaitu tanpa adanya bahan yang kongkrit, maka dia belum mampu menyelesaikannya dengan baik.
Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
 Pengurutan
Kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
 Klasifikasi
Kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
 Decentering
Anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
 Reversibility
Anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4 + 4 sama dengan 8, 8 - 4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
 Konservasi
Memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
 Penghilangan sifat Egosentrisme
Kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
4. Stadium operasional formal (mulai umur 11 tahun)
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Jean Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
Kemampuan berpikir pada stadium ini ditandai dengan dua sifat yang penting yaitu:
a. Kemampuan deduktif-hipotesis
Bila anak dihadapkan pada suatu masalah yang harus diselesaikannya, maka dia akan memikirkan dulu secara teoritis, menganalisa masalahnya dengan mengembangkan penyelesaian memulai berbagai hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisis ini, ia akan membuat suatu strategi penyelesaian. Analisis teoritis ini dapat dilakukan secara verbal, anak mengeluarkan ide-ide tertentu yang sering disebut proposisi-proposisi, kemudian mencari hubungan antara proporsi yang berbeda-beda tersebut. Oleh karenanya berpikir operasional formal sering juga disebut sebagai cara berpikir proporsional.

b. Bersifat kombinatoris
Berhubungan dengan cara bagaimana melakukan analisisnya maka sifat kombinatoris menjadi pelengkap cara berpikir operasional formal. Ini hampir menyerupai tahap trial & error pada stadium 12-18 bulan. Tetapi langkah coba-coba pada stadium operasional formal memiliki dasar teoritis dan hipotesis yang pasti.
Sebagai contoh, ada lima buah tabung berisi cairan warna yang berbeda, dua orang anak diminta untuk mencari kombinasi warna, maka:
Tahap operasinal konkrit Tahap operasional formal
Anak yang dalam stadium operasional konkrit akan mencoba-coba mencari kemungkinan-kemungkinan kombinasi warna tersebut tidak secara sistematis, hanya secara trial & error sampai secara kebetulan dia menemukan suatu kombinasi warna. Tetapi dia tidak mampu lagi untuk mengulang dan memproduksi kombinasi warna tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi yang ditemukan hanyalah sekedar kebetulan, bukan berdasarkan suatu tindakan empiris. Anak yang sudah memasuki stadium operasonal formal akan terlebih dahulu secara teoritis membuat matriks mengenai segala macam kombinasi yang mungkin tercipta. Kemudian secara sistematis akan mencoba setiap sel matriks tersebut secara empiris. Bila ia menemukan penyelesaiannya dengan betul maka ia akan mencoba untuk memproduksinya kembali serta kemudian mampu membuat suatu analisi dan kesimpulan.

Kemampuan kognitif remaja yang diklasifikasikan mulai usia 11 – 18 tahun tergolong dalam stadium oprasional formal ini. Keating (Kimmel,1990) berpendapat ada 5 karakteristik cara berfikir yang membedakan dengan stadium sebelumnya yaitu:
1. Mampu berfikir tentang kemungkinan kemungkinan baik yang telah terjadi maupun kemungkinan yang akan terjadi.
2. Berfikir dengan hipotesis.
3. Befikir jauh ke depan, membuat rencana kedepan, dan merencanakan strategis yang tepat.
4. Metakognisi, adalah suatu proses berfikir tetntang berfikir, mereka mampu mengukur kemampuan diri, pengetahuan, tujuan, serta langkah langkah untuk mancapainya, dangan kata lian meraka mampu merancanakan, membuat suatu keputusan dan mengambil strategi atau alternatif pemecahan masalah
5. Berfikir tanpa batas dan bersifat abstrak, misalnya tentang politik, agama atau keyakinan, moral hubungan antar manusia.
Jadi nampak sekali perbedaannya dengan cara berfikir konkrit yang ditunjukan anak-anak. Remaja telah mampu mengembangkan kemampuan berfikirnya secara abstrak, memkai prinsip-prinsip logika dalam berfikir teoritis, lebih konseptis dan sudah mampu pula membuat generalisaisi. Hal ini terjadi karena miningkatkan kemampuan kognisi juga kemampuan imajinasinya dengan kemampuan abtraksinya memungkinkan remaja untuk mengadakan understanding tanpa harus secara langsung terlibat dalam peristiwanya. Perhatikan mereka semakin besar terutama terhadap hal-hal yanng tidak langsung sifatnya, ingin meninjau segala sesuatunya sacara objektif sehinggan sering terlontar kritiknya yang tajam,sekaligus ingin meninjau dirinya sediri.
Dengan kemampuan-kemampuan tersebut maka remaja semakin yakin akan kemampuannya dalam mengambil keputusannya sendiri dan tidak lagi terlalu tergantung kepada orang lain (Murniati & Beatrix, 2000). Ini pula yang sering menjadi pemicu konflik antara remaja dengan sekolah, orang tua atau lingkungan.
Menurut Piaget, pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.
Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak. penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.
Keempat tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Wikipedia, 2009):
• Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia bervariasi tetapi urutannya selalu sama. Tidak ada ada tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan yang mundur.
• Universal (tidak terkait budaya).
• Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi yang ada dalam diri seseorang berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan.
• Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara logis.
• Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen dari tahapan sebelumnya, tapi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi).
• Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam model berpikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif.

C. Faktor Perkembangan Kognitif Remaja
Menurut pandangan teori pemrosesan informasi, kemampuan berfikir pada usia remaja disebabkan oleh meningkatnya ketersediaan sumberdaya kognitif (cognitive resource). Peningkatan ini disebabkan oleh automaticity atau kecepatan pemrosesan (Case; Keating & MacLean; dalam Carlson, dkk. 1999); pengetahuan lintas bidang yang makin luas (Case, dalam Carlson, dkk. 1999); meningkatnya kemampuan dalam menggabungkan informasi abstrak dan menggunakan argumen-argumen logis (Moshman & Frank, Carlson, dkk., 1999); serta makin banyaknya strategi yang dimiliki dalam mendapatkan dan menggunakan informasi (Carlson, dkk., 1999).
Walaupun cara berfikir kelompok remaja (usia 11 tahun ke atas) berbeda dengan anak usia 7 - 11 tahun, akan tetapi bila ditelaah lebih jauh, di antara para remaja sendiri sering ditemukan perbedaan (Seifert dan Hoffnung, 1987). Perbedaan tersebut, menurut Torgesen (Collins, dkk., 2001), terjadi antara lain karena faktor penggunaan strategi kognitif yang dimiliki oleh masing-masing individu.

D. Perkembangan Kognitif dan Agama
Sejalan dengan meningkatnya kemampuan abstraksi dan daya kritisnya, remaja sering kali meninjau agama dari segi rasio dan kadang-kadang tampa melalui penghayatan. Hal ini berbeda dengan masa kanak-kanak yang menerima ajaran agama secara konkrit. Konflik yang sering dihadapi remaja dalam hal ini adalah berbedanya antara ajaran agama dengan yang diterima dengan kenyataan-kenyataan yang ada dilingkungannya. Ini disebabkan pada masa remaja nilai-nilai hidup dan penghayatan tentang kebaikan, kebaikan dan kebenaran mulai timbul dan berkembang.
Remaja mulai menginternalisasikan nilai-nilai tersebut melalui pengenalan dan identifikasi. Bila yang dijumpai adalah nilai dan norma serta contoh-contoh yang baik maka ia akan menjadi baik, bahkan sering terlalu kaku dalam mengamalkan kebaikan sehingga terlihat kasar dan tajam kritikannya terhadap keburukan atau penyimpangan di lingkunngannya (Wardani, 1990). Situasi inilah yang sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk megorganisir remaja melakukan demokrasi menentang keabijakan pemerintah atau mengeritik tajam suatu kebijakan lingkungan. Kondisi ini memang disebabkan kerena remaja belum banyak memiliki pengalaman dan masih sempitnya dasar pertimbangan sebagi apa yang dianggapnya benar atau baik yang harus dijalankan seperti apa adanya. Sebaliknya apabila yang didapatkan adalah nilai-nilai dan contoh-contoh yang buruk dan negatif maka semua itu akan dinetralisasikan dan menjadi frame of reference, serta akan tercermin dari sikap cara berfikir dan perbuatan yang negatif pula. Namun dengan bertambahnya kemampuan remaja untuk memahami arti kehidupan di sekelilingnya secara poatensial, maka remaja akan lebih memahami secara mendasar arti agama serta menyikapi sikap-sikap sosial dalam lingkungannya, pada ahkirnya mereka akan belajar memahami dan mencapai pengertian bahwasanya berbicara dan mengeritik secara tajam ternyata lebih jauh muda dari pada pelaksanaanya, ini karena kemampuan berfikir abstrak dan metakognisinya akan terus berkembang
Pada dasarnya setiap proses perkembangan sendiri termasuk perkembangan konitif pada remaja dipengarui oleh beberapa faktor:
a. Pematangan (maturation)
Tumbuhnya stuktur-struktur fisik secara berangsur-angsur memiliki akibat pada perkembangan kognitif pula. Contoh yang jelas dalm hal ini adalah pertumbuhan pusat susunan otak
b. Pengalaman psikologis dan kontak dengan lngkungan (exercise throug physical partice and mental experience)
Kontak dengan lingkungan akan mengakibatkan dua macam ciri pengalaman mental. Pertama adalah fisik, yaitu aktifitas yang dapat mengabtraksi sifat fisik objek-objek terentu. Penglaman fisik ini memberikan pengertian mengenai sifat yang langsung berubungan dengan objeknya sendiri. Misalnya penertian bawa parfum A lebih harum daripada B, bergaul dengan C ternyata lebih menyenangkan dari pada dengan D. Yang kedua adalah pengalaman logika matematik, yaitu pengertian yang datang dari kordinasi internal prilaku individu tersebut
c. Transmisi sosial dan pembelajaran (social interaction and teaching)
Berbagai macam stimulasi sosial seperti media massa, lembaga sekolah, klub sosial dan sebagainya, ternyata memiliki pengaruh yang positif dalam perkembangan kognisi karena seseorang mendapatkan banyak inforamasi, dan kemudian melakukan suatu pembelajaran. Kenyataan ini nampak jelas dari pengamatan kita, bahwa remja perkotaan yang memiliki banyak fasilitas dan stimulasi sosial yang beragam menunjukan tinkat kognitif yang lebih tinggi dibandingkan remaja pedesaan.
d. Ekuilibrasi (equilibration)
Proses ekuilibrasi menintegrasi efek ketiga faktor diatas yang masing-masing kurang cukup memberikan keterangan mengenai proses perkembangan. Proses ini merupakan suatu proses internal untuk mengatur keseimbangan diri dalam individu.

E. Perkembangan Kognitif dan Prestasi Di Sekolah
Kemampuan kognitif normal maupun prestasi yang di capai di sekolah ternyata buruk, ini merupakan problem yang cukup menggejala di kalangan remaja. Dalam istilah psikologi sering disebut underachiever , masalah sosial dan emosional ternyata di temukan sebagai sumber masalahnya.
Menurut Hermans (Haditono, 1994), penyebab underachiever sebenarnya adalah ketakutan akan gagal. Ini berhubungan dengan situasi pengajaran, di samping situasi kehidupan secara keseluruhan , yaitu tuntutan yang semakin berat dan persaingan yang semakin tajam. Remaja justru semakin tidak mengerti kemampuan sendiri dalam hubungan pengajaran dan pendidikan. Hal ini disebabkan karena murid semakin dihadapkan dengan kemungkinan pilihan yang lebih banyak di dalam maupun di luar situasi pengajaran. Singkatnya, ketakutan untuk gagal ini disebabkan oleh keraguan total, yang menyebabkan kapasitas intelektual tidak sepenuhnya dapat bekerja.
Sementara menurut observasi Haditono (1994) keadaan underachiever di Indonesia sendiri, disebabkan oleh masalah yang cukup kompleks, suatu kombinasi dari faktor yang cukup banyak. Faktor pertama adalah kurangnya faktor belajar secara luas di sekolah, terutama di pelosok-pelosok maupun di rumah. Faktor kedua adalah kurangnya stimulasi belajar dan stimulasi mental. Hal ini terutama berlaku bagi orang tua dengan pendidikan yang rendah sehingga mereka kurang mengerti bagaimana membantu anak-anak agar lebih berhasil. Sementara pada orang tua dengan pendidikan tinggi kesibukan bekerja menjadi kendalanya. Faktor ketiga adalah kecukupan gizi, yang bilamana dapat mencapai tingkat yang lebih baik maka secara fisik anak pun akan menggunakan kapasitas otaknya secara maksimal. Faktor lain yang kurang menguntungkan adalah perubahan sistem belajar yang terlalu sering bahkan pada setiap periode sendiri belum merasa mantap dalam menerapkan sistem pengajaran, tentu ini memberikan dampak pada prestasi murid dan ikut menyebabkan terjadinya underachiever atau prestasi di bawah normal.
Suatu perubahan yang menarik berkaitan perkembangan kognitif dan minat belajar remaja sendiri terutama di Denpasar diteliti oleh Suryani (1997). Suatu fakta yang agak memprihatinkan ditemukan dalam penelitian ini, ternyata mayoritas dari 415 siswa yang diteliti memiliki minat membaca yang rendah, mereka jarang membaca surat kabar, majalah atau novel sehingga kurang tanggap terhadap perkembangan zaman. Rasa ingin tahunya terhadap sesuatu ternyata kurang. Kebanyakan siswa mengaku jenuh karena hari-harinya sibuk diisi urusan sekolahan dan les di sore harinya. Gairah belajar kurang dan mereka cenderung belajar sendiri kalau akan ada ulangan. Jarang siswa yang memiliki kelompok belajar. Kebanyakan siswa sulit diajak komunikasi verbal, bahkan cenderung apatis terutama siswa yang kemampuan yang agak lambat.
Murniati dan Beatrix (2000) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa remaja sekarang lebih menekankan pada pemikiran dan tindakan yang mandiri, senang dengan perubahan., lebih menekankan kesadaran akan diri dan inisiatif pribadi yang mengindikasikan kecenderungan untuk menempatkan kepentingan diri di atas kelompok. Jadi ada indikasi cara berpikir yang menuju kea rah individualistik.

BAB III
KESIMPULAN

Memasuki usia 11 tahun ke atas biasanya seorang anak akan memiliki kemampuan berpikir ke arah operasional formal. Ini sangat diperlukan bagi seorang remaja karena memiliki tugas perkembangan yaitu mengembangkan kemampuan kognitifnya secara lebih konsisten, terarah dan bertanggung jawab yang akan berguna dalam penyelaian masalah. Dengan kemampuan kemampuan metakognisi dan daya abstraksinya diharapkan remaja mampu mengukur kemampuan diri, memiliki tujuan, mengalisa alternatif pemecahan masalah, merencanakan strategi dan mengambil suatu keputusan. Semakin besar perhatian remaja terutama terhadap hal-hal yang tidak langsung sifatnya membuatnya ingin meninjau segala sesuatunya secara objektif sehingga sering terlontar kritik yang tajam dan pedas. Demikian juga terhadap agama dan nilai-nilai di lingkungannya, sering ditinjau dari sisi rasio dan kadang-kadang tanpa melalui penghayatan. Namun seiring dengan perkembangan kemampuan abstraksinya maka remaja akan mencapai tahap pengertian bahwasanya mengkritik secara tajam lebih mudah daripada palaksanaannya. Bagaimanapun peran lingkungan memiliki andil yang sangat besar untuk menjadi motivator bagi peningkatan kognitif remaja atau justru provokator bagi penurunan ataupun degradasi kemampuan kognitifnya.

DAFTAR PUSTAKA


http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_perkembangan_kognitif, diakses tanggal 10 Mei 2009

http://suhadianto.blogspot.com/2009/02/polah-asuh-dan-perilaku-delinkuen.html, diakses tanggal 10 Mei 2009


http://rumahbelajarpsikologi.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=101, diakses tanggal 10 Mei 2009


Kartini Kartono. 1992. Psikologi Wanita Jilid I: Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa. Bandung: Mandar Maju

Kimmel Douglas C. 1990. Adulthood and Aging, an interdisciplinary, developmental view. 3th ed. New York:John Wiley & Sons Inc


Murniati J & Beatrik sophie. 2000:59-64. Perbedaan nilai remaja sekarang dengan generasi sebelumnya. Fakultas Psiologi UI. Jurnal Psiologi Sosial. VII

Monks, F.J., Knoers A.M.P., haditono Siti Rahayu. 1994. Psikologi perkembangan, pengantar dalam berbagai bagianya. Yogyakarta : Gajah Mada University Press

Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. 2001. Human development (8th ed.). Boston: McGraw-Hill

Santrock, J.W. 2001. Adolescence (8th ed.). North America: McGraw-Hill

Soetjiningsing. 2007. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya.
Jakarta:Sagung Seto

Suryani LK. 1997. Profil remaja SMA di Denpasar dan permasalahannya. Peringatan tiga belas tahun Klinik Tumbuh Kembang Leb/ SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/ RSUP Denpasar

Wardani Ria. 1999: 51-61. Hubungan Gaya Pengasuhan Orangtua dengan Pembentukan Identitas Bidang Agama pada Remaja Di Kodya Bandung. Fakultas Psiologi UNPAD Bandung. Jurnal Psiologi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar